Wikipedia

Hasil penelusuran

Headline Today's

Pengikut

Total Tayangan Halaman

SEPENGGAL KISAH DI MASA SPG

Posted by On 06.23 with No comments


 

Cerpen:

Oleh: Joeprie


    Kalau saja ia tidak berada di situ saat ini, barangkali seharusnya ia sedang di antara kedua orang tuanya yang bangga akan kelucuan dan kemanisannya. Dan dia menyanyi, menari, tertawa dan bermanja. Ia ceria, seceria teman-teman sebayanya.

Tetapi… ia ada di situ sekarang. Duduk memeluk lutut di bawah pilar jembatan dekat pelabuhan, dan sedang menangis dengan suara yang menyayat hati.

Dia sebenarnya seorang gadis kecil yang manis, meskipun ia kini tampak kumal dan kotor. Sebagai manusia, dia sudah mulai sempurna, karena dia telah hadir dan mengenal hidup, meski belum dimengertinya. Namun sebagai seorang kanak-kanak, ia telah kehilangan kesempurnaan, sebab ia tidak mengenal arti kanak-kanaknya yang sebenarnya. Kehidupan telah merenggutnya dari dunianya itu.

Dia masih terus menangis ketika aku datang kepadanya. Mata dan pipinya basah oleh air mata.

“Kenapa, Dik?” tanyaku, membungkuk di hadapannya.

Dia mengangkat muka dan memandang padaku dengan mata banjir. Tatapannya itu membuat dadaku terasa perih. Dia begitu takut pada hidupnya. Dia begitu menderita dan tak berdaya.

“Adik kenapa? Tersesat?” tanyaku lagi. Kusingkirkan seuntai rambut yang berjuntai di keningnya.

Dia menggeleng lemah. Tangisnya mulai surut.

“Lalu kenapa adik menangis?”

Dia meraba perutnya lalu berkata pelan, di antara isakannya. “Ana lapar, Kak. Ana belum makan dari pagi.”

Aku tersentak. Ada sesuatu yang tergurit pedih. Dia seorang gadis kecil yang manis, menangis sendirian di bawah pilar jembatan karena lapar…Oh Tuhan…betapa kejamnya hidup menyiksanya. Betapa tak adilnya dunia bersikap kepadanya.

“Adik mau makan?” suaraku kudengar parau dan gemetar.

Dia mengangguk kecil, tanpa malu-malu.

Kuajak ia bangkit dan lalu kugandeng meninggalkan tempat itu. Setelah menyusuri jalan raya Pasuruan ke arah barat, kami masuk warung nasi rawon Pak Brahim daerah Kedong Wolu. Warung ini terkenal dengan masakan rawonnya yang nikmat. Anak-anak SPG setiap habis ada kegiatan kerja bakti sampai sore di sekolah, selalu makan bersama di warung ini dengan biaya dari guru yang memberi tugas. Di sana kupesankan untuknya, seporsi nasi rawon istimewa. Sebenarnya di seberang jalan sana ada banyak warung nasi murah, tetapi tidak, aku tak sampai hati mengajaknya ke sana. Sudah cukup penderitaan direguknya, sekarang biarlah aku mengajaknya melupakan itu sejenak. Karena hidup pun tak selalu pahit.

Sambil menunggu pesanan selesai dibuatkan, kuajak ia ke kamar mandi. Kusuruh ia membasuh muka, tangan dan kakinya di sana. Untuk melap muka dan tangannya, kuberikan sapu tanganku padanya. Ketika sedang melap mukanya, kuperhatiakan ia, dan berulah kusadari, ia sebenanrnya tak patut dengan keadaannya itu, dengan pakaian kumalnya itu, dengan kaki telanjangnya itu. Ia seharusnya seorang gadis kecil yang manis di tengah-tengah keluarganya yang sangat menyayanginya, bukan seorang gadis kecil yang kotor dan kumal di bawah jembatan penyeberangan dekat pelabuhan.

Ketika kami kembali ke meja, di sana telah terhidang sepiring nasi rawon istimewa yang masih berasap dan dua gelas es teh manis.

“Minum dulu, Dik,” kataku padanya, seraya aku sendiri mengangkat gelasku.

Dia meminum es teh manisnya, setengah gelas sekali minum.

“Makanlah pelan-pelan, masih panas,” kataku lagi, setelah ia meletakkan gelasnya.

Dia mulai makan, pelan-pelan tapi tampak sekali kelahapannya. Aku memperhatikannya dengan perasaan bahagia bercampur haru. Entah kenapa tiba-tiba ia berhenti makan dan memandang padaku.

“Kakak nggak makan?” tanyanya.

Aku tersenyum dan menggeleng pelan.

“Kakak sudah makan tadi, di sekolahan,” jawabku.

Dia melanjutkan lagi makannya.

“Kakak sekolah di mana, sih?” tanyanya, suatu kali, di tengah makannya.

“Di SPG Negeri. Kenapa?”

“SPG itu apa, Kak?”

“Sekolah Pendidikan Guru.”

“Oh, kakak guru, ya?”

“Bukan. Tapi, calon guru. Kakak ingin jadi guru. Makanya sekolah di sekolah pendidikan guru. Memangnya kenapa?”

“Nggak apa-apa,” dia menggeleng-geleng, tapi aku melihat kesedihannya.

“Kamu sudah sekolah?”

Dia menggeleng-geleng lagi, murung.

“Sudahlah selesaikan dulu makanmu. Kalau sudah selesai baru kita ngobrol.”

Dia segera menyelesaikan makannya. Tandas sepiring nasi rawon istimewa itu dibuatnya.

“Mau tambah lagi?” tanyaku.

Dia menggeleng, sambil mengangkat gelas es teh manisnya dan lalu direguknya isinya, hingga tuntas. Diam-diam hatiku terenyuh dibuatnya.

“Kakak kelas berapa?” tanyanya, setelah menyeka mulut dengan punggung lengannya.

“Kelas tiga.”

“Kok sudah besar baru kelas tiga sih?”

Aku tersenyum mendengar pertanyaan lugunya itu.

“Kelas tiganya kelas tiga besar, bukan kelas tiga kecil. Atau bisa dikatakan sebagai kelas dua belas.”

“Kelas dua belas?” dia tertawa lucu. “Emang ada, Kak?”

Aku juga tertawa jadinya. Keluguannya itulah penyebabnya.

“Memang nggak ada. Itu kan cuma istilah kakak saja, supaya kamu mengerti, bahwa kelas tiga besar sama artinya dengan kelas dua belas. Paham?”

Dia mengangguk. Dia sebenarnya anak yang cerdas.

“Oh,ya. Kakak belum tahu siapa namamu?”

“Nama saya Ana. Nama Kakak?”

“Jupri. Panggil saja Kak Pri.”

Dia mengangguk dengan senyum lebar.

“Nama Kakak jelek, tapi Kakak orangnya baik.” ujarnya.

Aku tertawa saja. “Apalah arti sebuah nama? Melati meskipun diganti nama comberan, ia tetaplah melati yang senantiasa menebarkan aroma wangi, he…he…he…” jawabku berfilsafat.

Ana tersenyum manis. Kupencet hidungnya yang bangir mungil, gemas. Dia tertawa gembira.

Siapa yang akan menyangka bahwa dia adalah seorang gadis kecil yang malang? Dan siapa pula yang akan menduga bahwa dia adalah perlambang hitamnya masa kanak-kanak?

“Ana. Selama ini sebenarnya kamu tinggal di mana?” tanyaku, memandangnya.

Ana menggeleng pelan. Dalam matanya aku melihat kemurungan yang bangkit.

“Sejak masih bersama Bapak dan Ibu, kami tak pernah punya tempat tinggal tetap. Kami selalu berpindah-pindah, dari kolong jembatan yang satu ke kolong jembatan yang lain,” katanya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

“Oh!” aku tersentak, tercekat. Ada sesuatu yang tergurit robek di dadaku.

“Lalu di mana bapak dan ibumu sekarang tinggal?” tanyaku dengan perasaan getir.

Ana mulai terisak-isak. Air mata merayap turun di pipinya, bening. Aku memeluknya. Dia menangis dalam dekapanku. Hatiku remuk redam.

“Ana nggak punya Bapak Ibu lagi, Kak.” Dia tersedu-sedu. “Bapak Ibu Ana sudah meninggal…”

Aku menggigit bibir. Perasaanku bagai dirobek-robek rasanya. Dia ternyata lebih menderita dari yang kuperkirakan… Dua bulir hangat kurasakan merayapi pipi-pipiku, luluh pelahan…

Hidup memang kadang jauh lebih buruk dari yang terbayangkan, tetapi mengapa gadis sekecil ini mesti menjalaninya? Padahal jelas dia belum banyak mengerti mengapa ia mesti menderita, dan untuk apa? Dia memang belum banyak mengerti, tetapi ia tahu, ia harus mereguk penderitaan yang disodorkan kepadanya. Dia tak berdaya, sama sekali tak berdaya! Hidup memang selalu memaksa manusia agar tak berdaya, namun kenapa mesti pada gadis sekecil ini pula? Ah,…inikah kodratMu, Tuhan?

Ana terus menangis dalam pelukanku. Sedu sedannya terdengar sangat menyayat dan menggiris-giris. Aku mengerti, ia mulai menyadari penderitaannya. Ia mulai dapat melihat hari-hari esoknya yang gelap gulita, tanpa pegangan, tanpa secercah nyala dian pun. Dan dia takut terjerumus pada jurang yang tak pernah dilihatnya. Dia sangat takut… Dia butuh perlindungan, dia butuh tangan tempat berpegangan. Dia butuh sedikit cahaya untuk menyuluhi jalannya yang berliku dan terjal. Dia butuh seseorang untuk hidup-hidupnya mendatang…tetapi siapa?

“Ana…” himbauku, mengelus kepalanya. Dia mengangkat kepala dan menatap padaku dengan mata banjir serta sendat-sendat isakan.

“Ana mau ikut dengan Kakak?” tanyaku, lembut. Kuseka air mata yang membasahi pipinya dengan sapu tangan.

Dia tak menjawab. Matanya tetap pada diriku, bening dan jujur.

“Kita akan tinggal bertiga: Ana, Kakak dan Ibu Kos. Mau, Ana?”

Ana menggigit bibir dan merunduk, dadanya terguncang-guncang oleh sisa isakan yang meletup dari kesedihannya, perlahan sekali ia menggeleng.

“Ana nggak mau? Nggak mau tinggal dengan Kakak?” tanyaku, kaget.

Dia menggeleng lagi, lebih tegas.

“Kenapa?”

Dia menatapku dan kembali menggeleng.

“Ana nggak tahu, di mana Ana dilahirkan Ibu, dan Ana juga nggak tahu di mana seharusnya Ana hidup dan mati…”, katanya, lirih.

Aku tersentak dan terhenyak pada sandaran. Ini bukan kata-kata dari seorang gadis kecil seperti dia! Ini kata-kata Malaikat yang sedang datang padanya… dan berarti dia sedang menuju… Oh, tidak! Aku memejam rapat. Bayangan buruk itu seperti lintasan prahara yang tak tertahan, hitam dan menakutkan!

“Ana mau ikut Bapak dan Ibu. Ana nggak mau ditinggal, Ana takut sendirian…” Dia menangis lagi, mendekapku erat-erat, seperti meminta perlindungan.

Aku sendiri, diam-diam, kemudian ikut menangis. Menangisi kemalangan yang tak mampu dielakkan.

Dan mungkin inilah yang dinamakan kodrat. Suratan yang berlaku atas manusia, tak terelakkan, tak mampu dielakkan! Itulah yang berlaku. Aku tak kuasa memaksakan maksudku atas gadis kecil itu untuk ikut bersamaku, di tempat kosku. Dia berpijak pada kodratnya, utuh seutuhnya, dan aku tak mampu menggoyahkannya. Dia berkisar atas jalur kebenarannya, atas jalan semestinya.

Dia kuantarkan kembali ke tempatnya semula, di bawah pilar jembatan penyeberangan dekat pelabuhan, di sanalah kemudian ia duduk… beralaskan karton lusuh.

“Ana, di mana kamu tidur nanti malam?” aku berlutut di sampingnya.

Dia menatapku dan lalu menggeleng.

“Di mana pun Ana tidur nanti malam, sama saja artinya, Kak,” katanya.

Aku menghela nafas.

“Tapi tidur di tempat terbuka nggak baik buat kesehatan, Ana,” nasihatku.

Dia cuma tersenyum.

“Sejak lahir, Ana justru belum pernah tidur di tempat tertutup, Kak,” katanya. “Ana kuatir, Ana malah akan sakit kalau tidur di tempat tertutup,” lanjutnya, sambil tertawa lucu.

Aku mencoba turut tertawa, tetapi terlalu perih rasanya. Akhirnya aku cuma mampu tersenyum getir. Dia sebenarnya telah banyak mengenal hakekat hidupnya.

Ketika aku hendak pulang, uang kembalian dari warung nasi rawon Pak Brahim yang tiga ribu delapan ratus rupiah kuberikan padanya. Uang itu, lima ribu rupiah asalnya, adalah sisa uang hadiah lomba cerpen yang diselenggarakan STKIP Pasuruan tiga hari lalu. Semua uang itu berjumlah dua puluh lima ribu, tetapi yang dua puluh ribu kemudian terpakai untuk membayar kos empat bulan ke depan. Dan sisanya yang lima ribu itu tadinya kumaksudkan untuk membayar uang sekolah, namun ternyata rizki Ana lebih baik daripada niatku, maka ya… begitulah. Rizki toh tak bisa diduga-duga, kapan datang pada kita, dan kapan datang kepada orang lain?

“Terima kasih, Kak,” ucap Ana ketika menerima uang itu, tulus. “Kakak baik sekali pada Ana.”

Aku cuma tersenyum dan mengelus kepalanya.

“Tuhan Maha Adil dan Bijaksana, Ana. Dia Maha Tahu, kepada siapa Dia akan memberi dan lewat siapa Dia memberi. Tuhan member rizki kepada Kakak, dan lewat Kakak Dia memberimu rizki,” kataku, lembut. “Pergunakanlah uang itu baik-baik, dan pesan Kakak: "Ana jangan menangis lagi.”

Dia mengangguk.

“Besok akan Kakak belikan pakaian buat Ana, yang bagus, yang cocok buat Ana.“ Dia tersenyum senang. “Dan Insya Allah, kalau Kakak punya uang, kita makan nasi rawon istimewa lagi di warung Pak Brahim. Ana suka makan di sana?”

“Suka, Kak. Nasi rawonnya enak sekali,” katanya gembira.

Aku tersenyum. Ada kebahagiaan yang menjalar di sekujur tubuh.

“Nah, sekarang Kakak harus segera pulang. Banyak PR yang harus Kakak kerjakan, jadi Kakak nggak bisa menemani Ana lama-lama. Baik-baik ya? Dan jangan menangis lagi, ingat.”

Dia mengangguk dan tersenyum ceria.

“Terima kasih, Kak. Ana janji, Ana nggak akan menangis lagi,” katanya.

Aku mengelus kepalanya dengan perasaan sayang dan iba. Entah kenapa, tiba-tiba ada sesuatu yang menggayuti diriku. Berat, berat sekali! Aku tak tahu, perasaan apa itu sebenarnya?

Aku bangkit berdiri, menatapnya sekali lagi, kemudian kupaksakan kakiku untuk melangkah. Aku berjalan kaki menuju jalan Diponegoro tempatku indekos. Aku melambai padanya. Ia membalas dengan senyum.

Ketika aku melangkah, kurasakan perasaan berat yang menggayut itu kian menjadi. Entah mengapa, sekonyong-konyong ada perasaan tak rela pada perpisahan ini dalam diriku. Dan tentu saja aku jadi gelisah karenanya.

Setiba di tempat kos, setelah menaruh tas sekolah di kamarku, aku segera pergi ke kamar Ibu Kos. Ibu Kos yang sudah kuanggap sebagai ibu sendiri itu sedang berbaring setengah duduk di sana, di atas tempat tidurnya. Sudah tiga hari ini ia sakit.

“Baru pulang, Pri?” ujar ibu kos menyambutku.

“Iya, Bu,” aku duduk di tepi pembaringannya. “Ibu sudah makan? Minum obat?”

Ibu Kos menjawabi dengan anggukan-anggukan.

“Kalau begitu sekarang ibu harus tidur,” kataku, sambil bergerak membantunya berbaring sepenuhnya.

“Ya, ya. Tapi tunggu dulu.”

“Ada apa, Bu?”

“Ada sesuatu yang membuatmu berubah.”

“O, ya? Darimana Ibu tahu?”

Ibu Kos tersenyum saja.

“Aku ibu kos mu, Pri. Hampir tiga tahun kita bersama, dan aku tahu betul akan dirimu. Ayo katakan, apa sebenarnya sesuatu itu?”

“Ibu mau tahu?”

Ibu Kos mengangguk antusias.

Maka kuceritakanlah segalanya. Segalanya tentang gadis kecil itu, tentang penderitaannya dan tentang semua kemalangannya. Tentang seorang gadis kecil yang sempurna oleh derita hidup. Dan Ibu Kos menangisinya. Dan aku pun menangisinya! Dia masih terlalu kecil untuk menentang hidup seorang diri, dia masih terlalu kecil untuk memikul beban yang maha berat itu, dia masih terlalu kecil…

“Jupri… kamu harus menolongnya. Kamu harus membawanya ke sini. Dia butuh perlindungan, dia butuh naungan, dia butuh uluran tangan kita…. Kamu harus menyelamatkannya dari penderitaannya, kamu harus… itu kewajibanmu, Jupri…,” ujar Ibu Kos, tersendat-sendat oleh tangisnya.

“Iya, Bu. Aku akan menolongnya. Aku akan membawanya ke sini…”

“Kamu janji?”

“Aku janji, Bu.”

Ibu Kos meraih tanganku, mendekapnya, dan kami bertangis-tangisan.

Keesokan harinya, pulang sekolah, dengan bungkusan plastik kresek berisi baju, aku menuju ke jembatan penyeberangan dekat pelabuhan itu. Tetapi ketika aku tiba di bawah jembatan itu aku tertegun. Ana tak ada di situ, tidak juga karton lusuh alas duduknya. Aku menggigit bibir dan bergegas mencarinya, di warung Pak Brahim, tempat dia kemarin makan, tak ada. Di warung-warung nasi sepanjang jalan raya Pasuruan juga tak ada. Kususuri juga kampung Bangilan, sepanjang jalan Niaga, alun-alun, Panglima Sudirman, jalan Melati, jalan Jawa, di sudut-sudut perempatan tak ada juga. Udara Kota Pasuruan yang terik membuat tubuhku bermandi peluh. Aku kembali ke bawah jembatan semula, berdiri terpaku di tempat Ana kemarin duduk. Aku merasa sedang bermimpi buruk.

“Ana, di mana kamu? Ke mana kamu…?”

Hatiku remuk redam oleh kegelisahan dan ketakutan.

Oooohhh… inikah perasaan yang menggayut kemarin? Inikah…?

“Ana…” aku bersimpuh dan menangis. Pedih sekali perasaanku. Kau tak kutemukan…

………………………………………

(***)

(Kawan,..pada suatu hari,… jika kamu bertemu dengan gadis kecil berbaju lusuh menatap iba penuh harap kepadamu,…kasihi dan bantulah dia. Hilangkan laparnya dengan rizki yang kamu punya…)

Pasuruan, 28 April 1990.

Next
« Prev Post
Previous
Next Post »