Oleh: Jupri
1/12/2023
#Bagian 1
Hijrah ke Kota Malang
Selepas menamatkan pendidikan SPG Negeri
di Kota Pasuruan yang panas, aku hijrah ke Kota Malang. Benar kata orang,
Malang Kota Dingin, Kota Bunga, Kota Pariwisata dan aneka sebutan lain yang
membuat orang betah. Kuputuskan untuk mencari kos, dan menjadi warga kota ini.
Aku merasa kerasan dengan suasana kota yang teduh, sejuk dan nyaman. Sesuai
dengan latar belakang pendidikan, aku memutuskan untuk bekerja sebagai guru
sekolah dasar.
Tanpa terasa sudah lima tahun bekerja
sebagai guru. Aku punya teman baik banget seperti saudara. Dia juga guru.
Kemarin ketika jam istirahat ia datang ke kelasku dan berkata to the point,
“Sudah waktunya kamu nikah, Sob. Aku punya keponakan yang cuantiiik, banget.
Sekali ketemu pasti kamu klepek-klepek,” tawarnya sambil tertawa. Tanpa babibu
ia segera mengajakku ke rumahnya. Gila! benar saja, sesampai di rumah yang kami
tuju seorang gadis anggun, cantik nan rupawan, berdiri depan pintu
mempersilakan kami masuk.
“Kenalkan Yu, ini Jafri, temanku satu
sekolahan,” kata Andri langsung nyelonong masuk ke dalam rumah sebelum
dipersilahkan. Aku mengulurkan tangan dan dia pun menyambutnya sambil menyebut
nama. “Ayu,” katanya. DEG! Jantungku berdetak kencang seperti ada gempa.
Kugenggam erat tangannya, dia membiarkan dengan seulas senyum. Senyumnya itu,
uh! Maniiis banget seperti ice cream. Dan aku suka sekali ice cream, maka aku
tak hendak berkedip sedetik pun untuk menikmati senyuman Ayu, he3x...
Benar kata teman-teman, gadis Kota
Malang itu cantik-cantik. Tidak salah! Kini dia berdiri di depanku. Tinggi
semampai, tampak anggun dengan rambut hitam panjang terurai, kulit putih halus
dan mata berbinar, sejuk seperti telaga.
“Ehem,” kudengar suara berdehem dari
dalam rumah. Aku kaget dan spontan melepas genggaman dari tangan Ayu yang
tertunduk tersipu malu. Aku jadi salah tingkah ketika seorang tinggi besar,
yang berdehem itu rupanya ayah Ayu mempersilakan aku duduk.
Ayah Ayu ramah banget. Sejak saat itu,
aku sering bermain ke rumahnya. Berita Andri, kedua orang tuanya suka sama aku
(karena aku baik, ramah, sopan dan juga ganteng he3x…muji diri sendiri gpp,
kan?) dan berharap aku segera melamar dan menikahinya. Hatiku berbunga-bunga,
menari-nari seperti film India. Tanpa berpikir panjang aku pun mewujudkan
harapan kedua orang tua Ayu.
Dan saat yang kunanti-nanti itu pun
tiba. Aku bernafas lega ketika tamu undangan kompak mengucap, “Sah!” menjawab
pertanyaan Pak Penghulu usai aku mengucap ijab kabul. Karena itu artinya aku
telah resmi menjadi seorang suami. Di tengah kebahagiaan itu, aku melirik Ayu,
pasti ia juga bahagia sepertiku. Tetapi, ia menunduk dengan mata mendung. Aku
mengernyitkan dahi, apakah dia bersedih? Kenapa? Ah, pasti dia menangis karena
bahagia, batinku. Segera kupeluk dia dan kukecup keningnya dengan perasaan
penuh cinta dan kasih sayang. Aku sudah tidak sabar untuk menunggu malam
pertama.
#Bagian 2
Malam Pertama yang Nggak Indah Blas
Malam kian larut, kumatikan lampu kamar,
mungkin saja karena terlalu terang aku kesulitan tidur. Tapi percuma, tetap
saja aku merasa gelisah gundah gulana. Aku menggulingkan tubuh ke kanan dan ke
kiri. Ayu tidak merasa terganggu. Dia masih nyenyak dalam tidurnya. Kupandangi
tubuh molek Ayu yang masih membelakangiku. Gila! Memandangnya saja membuat aku
bernafsu. Ingin segera kurengkuh dan kucumbu sepuas hati, tapi ada rasa tak
tega menghampiri. Dia terlihat sangat lelah.
Semakin lama, aku semakin tidak tahan.
Aku menyentuh bahunya perlahan dan menggoyangkannya. Berharap, dia mendengar
jeritan hatiku yang sedang meronta menginginkannya.
“Ayu…,” panggilku pelan.
Ayu masih tidak bergeming. Kemudian aku
memeluknya dari belakang, menyibak rambut panjangnya hingga terlihat leher
jenjang dia. Kucium, Ayu menggeliat kegelian. Terdengar desahan Ayu lirih,
namun kedua matanya masih terpejam. Aku membalikkan tubuhnya menjadi
terlentang. Aku menindihnya, tubuhnya ada di bawah kuasaku sekarang. Anehnya
dia masih juga terpejam. Tanganku mulai berkelana menyusuri keindahan tubuhnya.
Tiba-tiba Ayu terbangun, dia mendorongku
sekuat tenaganya. Matanya menyalang terpancar amarah. Apa aku begitu bersalah?
Kenapa dia memandangku seperti itu?
“Ayu, sayang,” ucapku ragu-ragu.
Dia terduduk dan hampir menangis. Lalu
kedua tangannya merapat, menutupi dadanya.
“Ayu…maaf, aku mengganggu tidurmu, ya?”
tuturku pelan merasa tidak enak.
“Jangan sentuh aku!” pekiknya dengan
suara lantang. DEG! Apa maksudnya? Aku suaminya tapi dia bilang untuk tidak
menyentuhnya. Aku benar-benar bingung dan tidak mengerti dibuatnya.
Aku mendekat, duduk di sampingnya dan
akan merangkulnya. Tapi di luar dugaan, dia mendorongku sekuat tenaga lalu
beranjak menangis.
“Tolong...jangan sentuh aku, Mas,”
isaknya membuat hatiku teriris.
“Apa salahku, Yu?” tanyaku bingung. Aku
frustasi dibuatnya. Tangisnya semakin
menjadi. Oke, aku kalah! Semakin
melihatnya tersedu-sedu, jantungku semakin terasa sesak.
“Mau kamu apa, Ayu?” tanyaku dari
kejauhan.
“Ceraikan aku, Mas,” ucapnya sambil
sesenggukan.
DUARRR!!! Rasanya ada yang meledak di
jantungku. Seperti bom Israel di tanah Gaza. Pernikahan kami belum genap 24
jam, tapi istriku sudah minta diceraikan. Astaga, permainan apa ini?
Aku menghela nafas panjang dan
menghembuskannya kasar. Mencoba menetralkan gemuruh jantung dan hatiku yang
terguncang.
Aku pikir, setelah menikah bisa
merasakan kebahagiaan yang selama ini aku damba. Bisa memasak bersama, duduk
sambil makan roti kering dan minum teh di teras rumah bersama, saling memadu
kasih, menyelesaikan tugas bersama dan mempunyai keturunan yang cantik atau
gantengnya seperti aku.Tapi ternyata aku salah! Impian itu hancur karena
istriku tidak menginginkan pernikahan ini.
“Ayu, bisa kita bicara sebentar?”
tanyaku hati-hati setelah tangisnya terhenti.
Ayu mengangguk, lalu duduk di tepi
ranjang. Wajahnya menunduk tidak melirikku sedikit pun. Terbersit dalam hatiku,
‘Apa aku terlihat sangat jelek? Melihat saja dia tidak mau. Perasaan, tampangku
jika dibanding Aldi Baran masih ganteng aku (preet!).’
Aku berjongkok di depannya. Kupegang
jemari kedua tangannya. Aku kecup dengan penuh cinta. Tapi sepertinya dia tidak
nyaman.
“Ayu, kenapa kamu berubah setelah kita
menikah? Apa aku telah melakukan kesalahan? Tolong katakan, Ayu, aku harus
bagaimana biar kamu bisa nerima aku?” Aku masih berjongkok di depannya,
mendongak memandang wajah cantiknya.
“Kamu mau dengar?” aku mengangguk dan
memperhatikannya.
“Maaf, Mas…sebenarnya aku menerimamu
karena dipaksa oleh orang tuaku. Mereka tidak merestui hubunganku dengan
pacarku. Sampai akhirnya Bang Andri ngenalin kamu. Kedua orang tuaku sangat
menyukaimu, karena itu mereka memaksaku untuk mau menerima lamaranmu,” Ayu
menghela nafas.
Dadaku sesak, rasanya seperti kehabisan
oksigen di ruangan itu. Jantungku berdetak sangat keras.
“Ayahku mengancam, jika aku tidak
menurutinya, beliau akan pergi dan tidak akan pernah mempedulikan keluarganya
lagi. Kamu tahu sendiri, ibu dan adikku masih membutuhkan beliau,” tutur Ayu
dengan air mata yang hampir tumpah.
“Maaf, Mas. Aku tidak bisa menolakmu
karena keluargaku. Aku tidak mau Ayah pergi hanya karena keegoisanku. Tapi jauh
dari lubuk hatiku, aku sangat mencintai pacarku. Kamu bisa memiliki ragaku,
tapi tidak hatiku, Mas,” tangisnya mulai pecah. Kedua tangannya menutupi
wajahnya, seakan melihatku saja enggan.
Ya, Tuhan, kenapa Engkau hadirkan rasa
sesakit ini. Hatiku seperti disayat sembilu. Tubuhku melemas hingga terduduk di
lantai. Pegangan tanganku perlahan terlepas.
Aku belum pernah menangis seumur
hidupku, tapi kali ini, aku menjadi pria yang paling lemah. Air mataku lolos
begitu saja. Terserah Ayu menganggapku seperti apa. Aku merasa berpijak pada
bumi yang runtuh. Sakit, hancur sampai menjadi serpihan.
#Bagian 3
Bertemu Gadis Liar
“Tidak bisakah kita mulai dari nol, Ayu?
Pepatah bilang tak kenal maka tak sayang. Witing tresno jalaran soko kulino,”
ucapku pelan setelah merenung sejenak.
“Ini bukan pepatah, Mas! Ini real life!
Aku hanya mencintai pacarku. Lagi pula kamu Cuma seorang guru SD. Apa kamu
mampu mencukupi semua kebutuhanku?” sinis Ayu menatapku remeh.
“Pacarku seorang direktur sebuah
perusahaan. Kami saling mencintai, hanya tinggal menunggu restu dari orang
tuaku saja. Tapi kamu tiba-tiba hadir dan menghancurkan semuanya. Aku yakin,
dia lebih mampu membahagiakanku daripada kamu,” tutur Ayu penuh penekanan
membuat darahku mendidih.
Hah! Aku salah menilaimu Ayu. Aku pikir
dia gadis lugu. Tapi ternyata? Aku yang terlalu bodoh mudah percaya mata polos
itu. Tapi tidak seperti ini juga caramu mempermainkan perasaanku! Bahkan aku
kamu rendahkan sampai ke dasar-dasar.
Mendengar ucapannya tanganku mengepal
kuat. Rahangku mengeras, jantungku berdetak berkali-kali lipat dari normalnya.
Emosi ini sudah sampai pada puncaknya. Aku berdiri, lalu membabi buta
memukul-mukul tembok. Tidak peduli tanganku remuk penuh darah. Saat ini aku
membutuhkan pelampiasan.
Dasar wanita ular! Apa semuanya seperti
kamu, Ayu! Aku benar-benar tidak menyangka dengan apa yang kamu lakukan. Sampai
mati pun aku akan mengingat bagaimana kamu menginjak harga diriku sampai
hancur. Kemudian aku pergi keluar. Pintu kamar kubanting dengan kasar, bahkan
hingga dindingnya bergetar. Aku yakin, Ayu pasti menangis ketakutan di sana.
Karena sekilas aku melihat matanya memerah. Aku tidak peduli lagi dengannya.
Tengah malam yang pekat itu, aku keluar
rumah. Tidak tahu membawa langkah kaki ini kemana. Aku tidak punya tujuan yang
jelas.
Aku berjalan berselimut awan gelap.
Dinginnya malam ini mampu menembus kaos polo yang kukenakan padahal sudah
berlapis jaket. Hanya terdengar deru lalu lalang mobil.
“HUAAAHH…..!”, aku berteriak keras
melepas rasa sesak di dada.
Rasa benci sudah memenuhi ruang hatiku.
Cinta yang baru tertanam telah mati karena racun yang ditebar olehnya. Aku
memutuskan untuk pulang ke rumah Andri. Padahal sekarang sudah pukul 2 dini
hari. Tapi mau ke mana lagi jika tidak ke sana?
Aku menendang sekuat tenaga kaleng bekas
minuman di depanku. Melampiaskan kemarahanku.
PLETAKKK!
“Awwhh!” pekik seorang gadis mungil
kesakitan.
Aku yang sedari tadi fokus ke handphone
mendongakkan kepala. Astaga! Ternyata tendanganku mengenai seseorang. Apa aku
tidak salah lihat? Jam segini masih ada gadis berkeliaran. Apa jangan-jangan …
kudengar kata orang, di jalan yang kulewati saat ini pernah ada gadis meninggal
terseret truk tebu, sejak saat itu sering terjadi peristiwa menakutkan, kadang
terdengar suara rintihan, kadang penampakan gadis berlubang di punggungnya.
Hiii, ngeri juga. Kuamati baik-baik gadis di depanku, tapi kakinya menapak
tanah, tidak mungkin hantu, kan?
Eh …, dia semakin mendekat sambil
memegang dahinya dan langkahnya sempoyongan namun tegas penuh emosi. Dengan
lantang dia berteriak, “Hei! Brengsek kamu, ya?”
Aku menoleh ke belakang, memastikan
kalau bukan aku yang akan dilabrak.
“He! Kamu, jangan kabur!” ulangnya lagi.
“Aku?”
“Ya, iya lah kamu! siapa lagi?” geramnya
karena aku seperti orang bego masih tidak merasa salah. Malah mencari-cari
orang lain. He3x…
Gadis itu kisaran berusia 19 tahun,
berambut panjang bergelombang. Pakaiannya …, astaga, kekurangan bahan! Kini
berada tepat di depanku. Manis, satu kata untuknya. Manik matanya memerah,
tercium bau alkohol menyengat dari mulutnya.
Ha? Fix dia mabuk. Ya ampun neng, bapak
ibu pada kemana? Anak gadis keliaran jam segini dibiarkan.
Dia mau melayangkan pukulan ke wajahku,
namun aku menghindar dan menangkis tangannya. Nggak sulitlah menangkap orang
mabuk.
Semakin dekat dilihat, gadis itu semakin
cantik. Tidak, tidak! Aku masih suami orang. Tidak boleh memuja gadis lain
selain istriku. Tapi suami mana yang tidak sakit hati ketika istrinya mencintai
pria lain?
Gadis yang tidak kuketahui identitasnya
itu pingsan di pelukanku. Aku bingung mau bawa kemana gadis itu.
“Hei, bangun,” aku menepuk-nepuk
pipinya.
Tidak ada respon sama sekali. Lalu, aku
memutuskan untuk membawanya ke hotel terdekat. Beruntung masih ada taksi yang
lewat dan mau menerima penumpang.
Beberapa menit kemudian, aku turun dari
taksi. Aku memboking kamar sebelum akhirnya menggendong gadis itu ke kamar yang
sudah kupesan.
Aku membuka kamar dan meletakkannya di
kasur. Kulepas sepatu hak tingginya dan menyelimutinya. Ketika beranjak akan
meninggalkannya, tangannya menahanku.
Tiba-tiba dia menarikku sekuat tenaganya
hingga aku terjatuh menindihnya. Hei, apa-apaan kamu gadis bodoh?
“Jangan pergi, temani aku,” lirihnya
masih memejamkan matanya.
Dia memelukku erat. Astaga, dia
benar-benar sedang menguji imanku. Semakin aku memberontak semakin dia
menarikku.
“Lepas!” aku mendorong kedua bahunya
agar terlepas dari jeratannya. Tapi dia terbangun mengikuti gerakanku.
“Hoekk!”
Dia muntah mengeluarkan semua isi
perutnya, kaos dan celanaku basah terkena muntahannya. Tercium alkohol yang
sangat menyengat. “Menjijikkan,” gumamku.
Setelah dia melemas, kesempatanku lepas
darinya. Aku mengelap mulutnya dengan tissu yang sudah disediakan oleh pihak
hotel. Pakaiannya berantakan. Gaun yang dipakai tidak layak disebut pakaian.
Tipis, tidak berlengan, belahan dada yang rendah dan tingginya di atas lutut.
Sebagai laki-laki normal aku merasakan
hasrat yang menggebu. Namun itu tidak mungkin. Aku segera ke kamar mandi
menetralkan deru nafasku yang memburu. Mandi air dingin sangat membantuku.
Setelah mandi kaos tidak kukenakan lagi
dan aku mencucinya dengan sabun mandi lalu menjemurnya di balkon. Berharap
besok bisa mengering terkena angin. Aku hanya mengenakan CD dan bertelanjang
dada.
Padahal aku berencana langsung pergi
setelah meletakkan gadis itu. Eh, malah ada tragedi muntah tepat di bajuku
pula. Terpaksa aku harus menginap juga di sini.
Hari sudah berganti pagi. Cahaya
matahari menelusup menembus jendela kamar. Aku baru saja memejamkan mataku
beberapa menit yang lalu.
“Haa? Auwww!!!”
Jeritan melengking tepat di telinga,
membuatku terbangun. Mata ini terasa pedih dan berat kubuka. Tapi aku juga
takut terjadi sesuatu.
“Apaan sih pagi-pagi berisik! Sakit
telingaku!” geramku setelah mengetahui sumber suara.
“He! kamu apain aku? Haaa…..kamu, jahat!
Tega ngambil keperawanan aku!” teriaknya menangis meraung-raung.
Gila! Aku dituduh memperkosanya. Otakku
masih ada woi. Mana mungkin aku perkosa orang nggak sadar. Aku memaksa membuka
mata.
“Siapa ambil keperawanan kamu! Siapa
perkosa kamu!” ucapku pelan mendorong kepalanya dengan jari telunjuk.
“Siapa lagi, kan cuma kamu yang ada di
sini. Dan lihat kamu telanjang gitu!” wajahnya memerah. Lalu menyelimuti
seluruh tubuhnya. Aku terkekeh sambil menarik-narik selimutnya.
“Oh … jadi kamu, mau aku perkosa?”
bisikku tepat di telinganya membuatnya bergidik.
“Huuaaa…,” raungannya mengeras tapi
tidak jelas karena dia menutupi kepalanya dengan bantal di bawah selimut.
“Dasar om-om mesum! Tega! Aku nggak mau
tau, kamu harus tanggung jawab!” bentaknya masih bersembunyi. Meski nggak jelas
aku mendengarnya.
Aku tertawa geli mendengarnya.
(Bersambung, Rek... Salam Literasi!)