Wikipedia

Hasil penelusuran

Headline Today's

Pengikut

Total Tayangan Halaman

AKU DIHINA KARENA HANYA SEORANG GURU SD

Posted by On 06.21 with No comments

 



Oleh: Jupri

1/12/2023

#Bagian 1

Hijrah ke Kota Malang

Selepas menamatkan pendidikan SPG Negeri di Kota Pasuruan yang panas, aku hijrah ke Kota Malang. Benar kata orang, Malang Kota Dingin, Kota Bunga, Kota Pariwisata dan aneka sebutan lain yang membuat orang betah. Kuputuskan untuk mencari kos, dan menjadi warga kota ini. Aku merasa kerasan dengan suasana kota yang teduh, sejuk dan nyaman. Sesuai dengan latar belakang pendidikan, aku memutuskan untuk bekerja sebagai guru sekolah dasar.

Tanpa terasa sudah lima tahun bekerja sebagai guru. Aku punya teman baik banget seperti saudara. Dia juga guru. Kemarin ketika jam istirahat ia datang ke kelasku dan berkata to the point, “Sudah waktunya kamu nikah, Sob. Aku punya keponakan yang cuantiiik, banget. Sekali ketemu pasti kamu klepek-klepek,” tawarnya sambil tertawa. Tanpa babibu ia segera mengajakku ke rumahnya. Gila! benar saja, sesampai di rumah yang kami tuju seorang gadis anggun, cantik nan rupawan, berdiri depan pintu mempersilakan kami masuk.

“Kenalkan Yu, ini Jafri, temanku satu sekolahan,” kata Andri langsung nyelonong masuk ke dalam rumah sebelum dipersilahkan. Aku mengulurkan tangan dan dia pun menyambutnya sambil menyebut nama. “Ayu,” katanya. DEG! Jantungku berdetak kencang seperti ada gempa. Kugenggam erat tangannya, dia membiarkan dengan seulas senyum. Senyumnya itu, uh! Maniiis banget seperti ice cream. Dan aku suka sekali ice cream, maka aku tak hendak berkedip sedetik pun untuk menikmati senyuman Ayu, he3x...

Benar kata teman-teman, gadis Kota Malang itu cantik-cantik. Tidak salah! Kini dia berdiri di depanku. Tinggi semampai, tampak anggun dengan rambut hitam panjang terurai, kulit putih halus dan mata berbinar, sejuk seperti telaga.

“Ehem,” kudengar suara berdehem dari dalam rumah. Aku kaget dan spontan melepas genggaman dari tangan Ayu yang tertunduk tersipu malu. Aku jadi salah tingkah ketika seorang tinggi besar, yang berdehem itu rupanya ayah Ayu mempersilakan aku duduk.

Ayah Ayu ramah banget. Sejak saat itu, aku sering bermain ke rumahnya. Berita Andri, kedua orang tuanya suka sama aku (karena aku baik, ramah, sopan dan juga ganteng he3x…muji diri sendiri gpp, kan?) dan berharap aku segera melamar dan menikahinya. Hatiku berbunga-bunga, menari-nari seperti film India. Tanpa berpikir panjang aku pun mewujudkan harapan kedua orang tua Ayu.

Dan saat yang kunanti-nanti itu pun tiba. Aku bernafas lega ketika tamu undangan kompak mengucap, “Sah!” menjawab pertanyaan Pak Penghulu usai aku mengucap ijab kabul. Karena itu artinya aku telah resmi menjadi seorang suami. Di tengah kebahagiaan itu, aku melirik Ayu, pasti ia juga bahagia sepertiku. Tetapi, ia menunduk dengan mata mendung. Aku mengernyitkan dahi, apakah dia bersedih? Kenapa? Ah, pasti dia menangis karena bahagia, batinku. Segera kupeluk dia dan kukecup keningnya dengan perasaan penuh cinta dan kasih sayang. Aku sudah tidak sabar untuk menunggu malam pertama.

#Bagian 2

Malam Pertama yang Nggak Indah Blas

Malam kian larut, kumatikan lampu kamar, mungkin saja karena terlalu terang aku kesulitan tidur. Tapi percuma, tetap saja aku merasa gelisah gundah gulana. Aku menggulingkan tubuh ke kanan dan ke kiri. Ayu tidak merasa terganggu. Dia masih nyenyak dalam tidurnya. Kupandangi tubuh molek Ayu yang masih membelakangiku. Gila! Memandangnya saja membuat aku bernafsu. Ingin segera kurengkuh dan kucumbu sepuas hati, tapi ada rasa tak tega menghampiri. Dia terlihat sangat lelah.

Semakin lama, aku semakin tidak tahan. Aku menyentuh bahunya perlahan dan menggoyangkannya. Berharap, dia mendengar jeritan hatiku yang sedang meronta menginginkannya.

“Ayu…,” panggilku pelan.

Ayu masih tidak bergeming. Kemudian aku memeluknya dari belakang, menyibak rambut panjangnya hingga terlihat leher jenjang dia. Kucium, Ayu menggeliat kegelian. Terdengar desahan Ayu lirih, namun kedua matanya masih terpejam. Aku membalikkan tubuhnya menjadi terlentang. Aku menindihnya, tubuhnya ada di bawah kuasaku sekarang. Anehnya dia masih juga terpejam. Tanganku mulai berkelana menyusuri keindahan tubuhnya.

Tiba-tiba Ayu terbangun, dia mendorongku sekuat tenaganya. Matanya menyalang terpancar amarah. Apa aku begitu bersalah? Kenapa dia memandangku seperti itu?

“Ayu, sayang,” ucapku ragu-ragu.

Dia terduduk dan hampir menangis. Lalu kedua tangannya merapat, menutupi dadanya.

“Ayu…maaf, aku mengganggu tidurmu, ya?” tuturku pelan merasa tidak enak.

“Jangan sentuh aku!” pekiknya dengan suara lantang. DEG! Apa maksudnya? Aku suaminya tapi dia bilang untuk tidak menyentuhnya. Aku benar-benar bingung dan tidak mengerti dibuatnya.

Aku mendekat, duduk di sampingnya dan akan merangkulnya. Tapi di luar dugaan, dia mendorongku sekuat tenaga lalu beranjak menangis.

“Tolong...jangan sentuh aku, Mas,” isaknya membuat hatiku teriris.

“Apa salahku, Yu?” tanyaku bingung. Aku frustasi dibuatnya. Tangisnya semakin

menjadi. Oke, aku kalah! Semakin melihatnya tersedu-sedu, jantungku semakin terasa sesak.

“Mau kamu apa, Ayu?” tanyaku dari kejauhan.

“Ceraikan aku, Mas,” ucapnya sambil sesenggukan.

DUARRR!!! Rasanya ada yang meledak di jantungku. Seperti bom Israel di tanah Gaza. Pernikahan kami belum genap 24 jam, tapi istriku sudah minta diceraikan. Astaga, permainan apa ini?

Aku menghela nafas panjang dan menghembuskannya kasar. Mencoba menetralkan gemuruh jantung dan hatiku yang terguncang.

Aku pikir, setelah menikah bisa merasakan kebahagiaan yang selama ini aku damba. Bisa memasak bersama, duduk sambil makan roti kering dan minum teh di teras rumah bersama, saling memadu kasih, menyelesaikan tugas bersama dan mempunyai keturunan yang cantik atau gantengnya seperti aku.Tapi ternyata aku salah! Impian itu hancur karena istriku tidak menginginkan pernikahan ini.

“Ayu, bisa kita bicara sebentar?” tanyaku hati-hati setelah tangisnya terhenti.

Ayu mengangguk, lalu duduk di tepi ranjang. Wajahnya menunduk tidak melirikku sedikit pun. Terbersit dalam hatiku, ‘Apa aku terlihat sangat jelek? Melihat saja dia tidak mau. Perasaan, tampangku jika dibanding Aldi Baran masih ganteng aku (preet!).’

Aku berjongkok di depannya. Kupegang jemari kedua tangannya. Aku kecup dengan penuh cinta. Tapi sepertinya dia tidak nyaman.

“Ayu, kenapa kamu berubah setelah kita menikah? Apa aku telah melakukan kesalahan? Tolong katakan, Ayu, aku harus bagaimana biar kamu bisa nerima aku?” Aku masih berjongkok di depannya, mendongak memandang wajah cantiknya.

“Kamu mau dengar?” aku mengangguk dan memperhatikannya.

“Maaf, Mas…sebenarnya aku menerimamu karena dipaksa oleh orang tuaku. Mereka tidak merestui hubunganku dengan pacarku. Sampai akhirnya Bang Andri ngenalin kamu. Kedua orang tuaku sangat menyukaimu, karena itu mereka memaksaku untuk mau menerima lamaranmu,” Ayu menghela nafas.

Dadaku sesak, rasanya seperti kehabisan oksigen di ruangan itu. Jantungku berdetak sangat keras.

“Ayahku mengancam, jika aku tidak menurutinya, beliau akan pergi dan tidak akan pernah mempedulikan keluarganya lagi. Kamu tahu sendiri, ibu dan adikku masih membutuhkan beliau,” tutur Ayu dengan air mata yang hampir tumpah.

“Maaf, Mas. Aku tidak bisa menolakmu karena keluargaku. Aku tidak mau Ayah pergi hanya karena keegoisanku. Tapi jauh dari lubuk hatiku, aku sangat mencintai pacarku. Kamu bisa memiliki ragaku, tapi tidak hatiku, Mas,” tangisnya mulai pecah. Kedua tangannya menutupi wajahnya, seakan melihatku saja enggan.

Ya, Tuhan, kenapa Engkau hadirkan rasa sesakit ini. Hatiku seperti disayat sembilu. Tubuhku melemas hingga terduduk di lantai. Pegangan tanganku perlahan terlepas.

Aku belum pernah menangis seumur hidupku, tapi kali ini, aku menjadi pria yang paling lemah. Air mataku lolos begitu saja. Terserah Ayu menganggapku seperti apa. Aku merasa berpijak pada bumi yang runtuh. Sakit, hancur sampai menjadi serpihan.


#Bagian 3

Bertemu Gadis Liar

“Tidak bisakah kita mulai dari nol, Ayu? Pepatah bilang tak kenal maka tak sayang. Witing tresno jalaran soko kulino,” ucapku pelan setelah merenung sejenak.

“Ini bukan pepatah, Mas! Ini real life! Aku hanya mencintai pacarku. Lagi pula kamu Cuma seorang guru SD. Apa kamu mampu mencukupi semua kebutuhanku?” sinis Ayu menatapku remeh.

“Pacarku seorang direktur sebuah perusahaan. Kami saling mencintai, hanya tinggal menunggu restu dari orang tuaku saja. Tapi kamu tiba-tiba hadir dan menghancurkan semuanya. Aku yakin, dia lebih mampu membahagiakanku daripada kamu,” tutur Ayu penuh penekanan membuat darahku mendidih.

Hah! Aku salah menilaimu Ayu. Aku pikir dia gadis lugu. Tapi ternyata? Aku yang terlalu bodoh mudah percaya mata polos itu. Tapi tidak seperti ini juga caramu mempermainkan perasaanku! Bahkan aku kamu rendahkan sampai ke dasar-dasar.

Mendengar ucapannya tanganku mengepal kuat. Rahangku mengeras, jantungku berdetak berkali-kali lipat dari normalnya. Emosi ini sudah sampai pada puncaknya. Aku berdiri, lalu membabi buta memukul-mukul tembok. Tidak peduli tanganku remuk penuh darah. Saat ini aku membutuhkan pelampiasan.

Dasar wanita ular! Apa semuanya seperti kamu, Ayu! Aku benar-benar tidak menyangka dengan apa yang kamu lakukan. Sampai mati pun aku akan mengingat bagaimana kamu menginjak harga diriku sampai hancur. Kemudian aku pergi keluar. Pintu kamar kubanting dengan kasar, bahkan hingga dindingnya bergetar. Aku yakin, Ayu pasti menangis ketakutan di sana. Karena sekilas aku melihat matanya memerah. Aku tidak peduli lagi dengannya.

Tengah malam yang pekat itu, aku keluar rumah. Tidak tahu membawa langkah kaki ini kemana. Aku tidak punya tujuan yang jelas.

Aku berjalan berselimut awan gelap. Dinginnya malam ini mampu menembus kaos polo yang kukenakan padahal sudah berlapis jaket. Hanya terdengar deru lalu lalang mobil.

“HUAAAHH…..!”, aku berteriak keras melepas rasa sesak di dada.

Rasa benci sudah memenuhi ruang hatiku. Cinta yang baru tertanam telah mati karena racun yang ditebar olehnya. Aku memutuskan untuk pulang ke rumah Andri. Padahal sekarang sudah pukul 2 dini hari. Tapi mau ke mana lagi jika tidak ke sana?

Aku menendang sekuat tenaga kaleng bekas minuman di depanku. Melampiaskan kemarahanku.

PLETAKKK!

“Awwhh!” pekik seorang gadis mungil kesakitan.

Aku yang sedari tadi fokus ke handphone mendongakkan kepala. Astaga! Ternyata tendanganku mengenai seseorang. Apa aku tidak salah lihat? Jam segini masih ada gadis berkeliaran. Apa jangan-jangan … kudengar kata orang, di jalan yang kulewati saat ini pernah ada gadis meninggal terseret truk tebu, sejak saat itu sering terjadi peristiwa menakutkan, kadang terdengar suara rintihan, kadang penampakan gadis berlubang di punggungnya. Hiii, ngeri juga. Kuamati baik-baik gadis di depanku, tapi kakinya menapak tanah, tidak mungkin hantu, kan?

Eh …, dia semakin mendekat sambil memegang dahinya dan langkahnya sempoyongan namun tegas penuh emosi. Dengan lantang dia berteriak, “Hei! Brengsek kamu, ya?”

Aku menoleh ke belakang, memastikan kalau bukan aku yang akan dilabrak.

“He! Kamu, jangan kabur!” ulangnya lagi.

“Aku?”

“Ya, iya lah kamu! siapa lagi?” geramnya karena aku seperti orang bego masih tidak merasa salah. Malah mencari-cari orang lain. He3x…

Gadis itu kisaran berusia 19 tahun, berambut panjang bergelombang. Pakaiannya …, astaga, kekurangan bahan! Kini berada tepat di depanku. Manis, satu kata untuknya. Manik matanya memerah, tercium bau alkohol menyengat dari mulutnya.

Ha? Fix dia mabuk. Ya ampun neng, bapak ibu pada kemana? Anak gadis keliaran jam segini dibiarkan.

Dia mau melayangkan pukulan ke wajahku, namun aku menghindar dan menangkis tangannya. Nggak sulitlah menangkap orang mabuk.

Semakin dekat dilihat, gadis itu semakin cantik. Tidak, tidak! Aku masih suami orang. Tidak boleh memuja gadis lain selain istriku. Tapi suami mana yang tidak sakit hati ketika istrinya mencintai pria lain?

Gadis yang tidak kuketahui identitasnya itu pingsan di pelukanku. Aku bingung mau bawa kemana gadis itu.

“Hei, bangun,” aku menepuk-nepuk pipinya.

Tidak ada respon sama sekali. Lalu, aku memutuskan untuk membawanya ke hotel terdekat. Beruntung masih ada taksi yang lewat dan mau menerima penumpang.

Beberapa menit kemudian, aku turun dari taksi. Aku memboking kamar sebelum akhirnya menggendong gadis itu ke kamar yang sudah kupesan.

Aku membuka kamar dan meletakkannya di kasur. Kulepas sepatu hak tingginya dan menyelimutinya. Ketika beranjak akan meninggalkannya, tangannya menahanku.

Tiba-tiba dia menarikku sekuat tenaganya hingga aku terjatuh menindihnya. Hei, apa-apaan kamu gadis bodoh?

“Jangan pergi, temani aku,” lirihnya masih memejamkan matanya.

Dia memelukku erat. Astaga, dia benar-benar sedang menguji imanku. Semakin aku memberontak semakin dia menarikku.

“Lepas!” aku mendorong kedua bahunya agar terlepas dari jeratannya. Tapi dia terbangun mengikuti gerakanku.

“Hoekk!”

Dia muntah mengeluarkan semua isi perutnya, kaos dan celanaku basah terkena muntahannya. Tercium alkohol yang sangat menyengat. “Menjijikkan,” gumamku.

Setelah dia melemas, kesempatanku lepas darinya. Aku mengelap mulutnya dengan tissu yang sudah disediakan oleh pihak hotel. Pakaiannya berantakan. Gaun yang dipakai tidak layak disebut pakaian. Tipis, tidak berlengan, belahan dada yang rendah dan tingginya di atas lutut.

Sebagai laki-laki normal aku merasakan hasrat yang menggebu. Namun itu tidak mungkin. Aku segera ke kamar mandi menetralkan deru nafasku yang memburu. Mandi air dingin sangat membantuku.

Setelah mandi kaos tidak kukenakan lagi dan aku mencucinya dengan sabun mandi lalu menjemurnya di balkon. Berharap besok bisa mengering terkena angin. Aku hanya mengenakan CD dan bertelanjang dada.

Padahal aku berencana langsung pergi setelah meletakkan gadis itu. Eh, malah ada tragedi muntah tepat di bajuku pula. Terpaksa aku harus menginap juga di sini.

Hari sudah berganti pagi. Cahaya matahari menelusup menembus jendela kamar. Aku baru saja memejamkan mataku beberapa menit yang lalu.

“Haa? Auwww!!!”

Jeritan melengking tepat di telinga, membuatku terbangun. Mata ini terasa pedih dan berat kubuka. Tapi aku juga takut terjadi sesuatu.

“Apaan sih pagi-pagi berisik! Sakit telingaku!” geramku setelah mengetahui sumber suara.

“He! kamu apain aku? Haaa…..kamu, jahat! Tega ngambil keperawanan aku!” teriaknya menangis meraung-raung.

Gila! Aku dituduh memperkosanya. Otakku masih ada woi. Mana mungkin aku perkosa orang nggak sadar. Aku memaksa membuka mata.

“Siapa ambil keperawanan kamu! Siapa perkosa kamu!” ucapku pelan mendorong kepalanya dengan jari telunjuk.

“Siapa lagi, kan cuma kamu yang ada di sini. Dan lihat kamu telanjang gitu!” wajahnya memerah. Lalu menyelimuti seluruh tubuhnya. Aku terkekeh sambil menarik-narik selimutnya.

“Oh … jadi kamu, mau aku perkosa?” bisikku tepat di telinganya membuatnya bergidik.

“Huuaaa…,” raungannya mengeras tapi tidak jelas karena dia menutupi kepalanya dengan bantal di bawah selimut.

“Dasar om-om mesum! Tega! Aku nggak mau tau, kamu harus tanggung jawab!” bentaknya masih bersembunyi. Meski nggak jelas aku mendengarnya.

Aku tertawa geli mendengarnya.

(Bersambung, Rek... Salam Literasi!)

Next
« Prev Post
Previous
Next Post »