SEPENGGAL KISAH DI MASA SPG
On 06.23 with No comments
Cerpen:
Oleh: Joeprie
Kalau saja ia tidak berada di situ saat
ini, barangkali seharusnya ia sedang di antara kedua orang tuanya yang bangga
akan kelucuan dan kemanisannya. Dan dia menyanyi, menari, tertawa dan bermanja.
Ia ceria, seceria teman-teman sebayanya.
Tetapi… ia ada di situ sekarang. Duduk
memeluk lutut di bawah pilar jembatan dekat pelabuhan, dan sedang menangis
dengan suara yang menyayat hati.
Dia sebenarnya seorang gadis kecil yang
manis, meskipun ia kini tampak kumal dan kotor. Sebagai manusia, dia sudah
mulai sempurna, karena dia telah hadir dan mengenal hidup, meski belum
dimengertinya. Namun sebagai seorang kanak-kanak, ia telah kehilangan
kesempurnaan, sebab ia tidak mengenal arti kanak-kanaknya yang sebenarnya.
Kehidupan telah merenggutnya dari dunianya itu.
Dia masih terus menangis ketika aku
datang kepadanya. Mata dan pipinya basah oleh air mata.
“Kenapa, Dik?” tanyaku, membungkuk di
hadapannya.
Dia mengangkat muka dan memandang padaku
dengan mata banjir. Tatapannya itu membuat dadaku terasa perih. Dia begitu
takut pada hidupnya. Dia begitu menderita dan tak berdaya.
“Adik kenapa? Tersesat?” tanyaku lagi.
Kusingkirkan seuntai rambut yang berjuntai di keningnya.
Dia menggeleng lemah. Tangisnya mulai
surut.
“Lalu kenapa adik menangis?”
Dia meraba perutnya lalu berkata pelan,
di antara isakannya. “Ana lapar, Kak. Ana belum makan dari pagi.”
Aku tersentak. Ada sesuatu yang tergurit
pedih. Dia seorang gadis kecil yang manis, menangis sendirian di bawah pilar jembatan
karena lapar…Oh Tuhan…betapa kejamnya hidup menyiksanya. Betapa tak adilnya
dunia bersikap kepadanya.
“Adik mau makan?” suaraku kudengar parau
dan gemetar.
Dia mengangguk kecil, tanpa malu-malu.
Kuajak ia bangkit dan lalu kugandeng
meninggalkan tempat itu. Setelah menyusuri jalan raya Pasuruan ke arah barat,
kami masuk warung nasi rawon Pak Brahim daerah Kedong Wolu. Warung ini terkenal
dengan masakan rawonnya yang nikmat. Anak-anak SPG setiap habis ada kegiatan
kerja bakti sampai sore di sekolah, selalu makan bersama di warung ini dengan
biaya dari guru yang memberi tugas. Di sana kupesankan untuknya, seporsi nasi
rawon istimewa. Sebenarnya di seberang jalan sana ada banyak warung nasi murah,
tetapi tidak, aku tak sampai hati mengajaknya ke sana. Sudah cukup penderitaan
direguknya, sekarang biarlah aku mengajaknya melupakan itu sejenak. Karena
hidup pun tak selalu pahit.
Sambil menunggu pesanan selesai
dibuatkan, kuajak ia ke kamar mandi. Kusuruh ia membasuh muka, tangan dan
kakinya di sana. Untuk melap muka dan tangannya, kuberikan sapu tanganku
padanya. Ketika sedang melap mukanya, kuperhatiakan ia, dan berulah kusadari,
ia sebenanrnya tak patut dengan keadaannya itu, dengan pakaian kumalnya itu, dengan
kaki telanjangnya itu. Ia seharusnya seorang gadis kecil yang manis di
tengah-tengah keluarganya yang sangat menyayanginya, bukan seorang gadis kecil
yang kotor dan kumal di bawah jembatan penyeberangan dekat pelabuhan.
Ketika kami kembali ke meja, di sana
telah terhidang sepiring nasi rawon istimewa yang masih berasap dan dua gelas
es teh manis.
“Minum dulu, Dik,” kataku padanya,
seraya aku sendiri mengangkat gelasku.
Dia meminum es teh manisnya, setengah
gelas sekali minum.
“Makanlah pelan-pelan, masih panas,”
kataku lagi, setelah ia meletakkan gelasnya.
Dia mulai makan, pelan-pelan tapi tampak
sekali kelahapannya. Aku memperhatikannya dengan perasaan bahagia bercampur
haru. Entah kenapa tiba-tiba ia berhenti makan dan memandang padaku.
“Kakak nggak makan?” tanyanya.
Aku tersenyum dan menggeleng pelan.
“Kakak sudah makan tadi, di sekolahan,”
jawabku.
Dia melanjutkan lagi makannya.
“Kakak sekolah di mana, sih?” tanyanya,
suatu kali, di tengah makannya.
“Di SPG Negeri. Kenapa?”
“SPG itu apa, Kak?”
“Sekolah Pendidikan Guru.”
“Oh, kakak guru, ya?”
“Bukan. Tapi, calon guru. Kakak ingin
jadi guru. Makanya sekolah di sekolah pendidikan guru. Memangnya kenapa?”
“Nggak apa-apa,” dia menggeleng-geleng,
tapi aku melihat kesedihannya.
“Kamu sudah sekolah?”
Dia menggeleng-geleng lagi, murung.
“Sudahlah selesaikan dulu makanmu. Kalau
sudah selesai baru kita ngobrol.”
Dia segera menyelesaikan makannya.
Tandas sepiring nasi rawon istimewa itu dibuatnya.
“Mau tambah lagi?” tanyaku.
Dia menggeleng, sambil mengangkat gelas
es teh manisnya dan lalu direguknya isinya, hingga tuntas. Diam-diam hatiku
terenyuh dibuatnya.
“Kakak kelas berapa?” tanyanya, setelah
menyeka mulut dengan punggung lengannya.
“Kelas tiga.”
“Kok sudah besar baru kelas tiga sih?”
Aku tersenyum mendengar pertanyaan
lugunya itu.
“Kelas tiganya kelas tiga besar, bukan
kelas tiga kecil. Atau bisa dikatakan sebagai kelas dua belas.”
“Kelas dua belas?” dia tertawa lucu.
“Emang ada, Kak?”
Aku juga tertawa jadinya. Keluguannya
itulah penyebabnya.
“Memang nggak ada. Itu kan cuma istilah
kakak saja, supaya kamu mengerti, bahwa kelas tiga besar sama artinya dengan
kelas dua belas. Paham?”
Dia mengangguk. Dia sebenarnya anak yang
cerdas.
“Oh,ya. Kakak belum tahu siapa namamu?”
“Nama saya Ana. Nama Kakak?”
“Jupri. Panggil saja Kak Pri.”
Dia mengangguk dengan senyum lebar.
“Nama Kakak jelek, tapi Kakak orangnya
baik.” ujarnya.
Aku tertawa saja. “Apalah arti sebuah
nama? Melati meskipun diganti nama comberan, ia tetaplah melati yang senantiasa
menebarkan aroma wangi, he…he…he…” jawabku berfilsafat.
Ana tersenyum manis. Kupencet hidungnya
yang bangir mungil, gemas. Dia tertawa gembira.
Siapa yang akan menyangka bahwa dia
adalah seorang gadis kecil yang malang? Dan siapa pula yang akan menduga bahwa
dia adalah perlambang hitamnya masa kanak-kanak?
“Ana. Selama ini sebenarnya kamu tinggal
di mana?” tanyaku, memandangnya.
Ana menggeleng pelan. Dalam matanya aku
melihat kemurungan yang bangkit.
“Sejak masih bersama Bapak dan Ibu, kami
tak pernah punya tempat tinggal tetap. Kami selalu berpindah-pindah, dari
kolong jembatan yang satu ke kolong jembatan yang lain,” katanya dengan mata
yang mulai berkaca-kaca.
“Oh!” aku tersentak, tercekat. Ada
sesuatu yang tergurit robek di dadaku.
“Lalu di mana bapak dan ibumu sekarang
tinggal?” tanyaku dengan perasaan getir.
Ana mulai terisak-isak. Air mata merayap
turun di pipinya, bening. Aku memeluknya. Dia menangis dalam dekapanku. Hatiku
remuk redam.
“Ana nggak punya Bapak Ibu lagi, Kak.”
Dia tersedu-sedu. “Bapak Ibu Ana sudah meninggal…”
Aku menggigit bibir. Perasaanku bagai
dirobek-robek rasanya. Dia ternyata lebih menderita dari yang kuperkirakan… Dua
bulir hangat kurasakan merayapi pipi-pipiku, luluh pelahan…
Hidup memang kadang jauh lebih buruk
dari yang terbayangkan, tetapi mengapa gadis sekecil ini mesti menjalaninya?
Padahal jelas dia belum banyak mengerti mengapa ia mesti menderita, dan untuk
apa? Dia memang belum banyak mengerti, tetapi ia tahu, ia harus mereguk
penderitaan yang disodorkan kepadanya. Dia tak berdaya, sama sekali tak
berdaya! Hidup memang selalu memaksa manusia agar tak berdaya, namun kenapa
mesti pada gadis sekecil ini pula? Ah,…inikah kodratMu, Tuhan?
Ana terus menangis dalam pelukanku. Sedu
sedannya terdengar sangat menyayat dan menggiris-giris. Aku mengerti, ia mulai
menyadari penderitaannya. Ia mulai dapat melihat hari-hari esoknya yang gelap
gulita, tanpa pegangan, tanpa secercah nyala dian pun. Dan dia takut terjerumus
pada jurang yang tak pernah dilihatnya. Dia sangat takut… Dia butuh
perlindungan, dia butuh tangan tempat berpegangan. Dia butuh sedikit cahaya
untuk menyuluhi jalannya yang berliku dan terjal. Dia butuh seseorang untuk
hidup-hidupnya mendatang…tetapi siapa?
“Ana…” himbauku, mengelus kepalanya. Dia
mengangkat kepala dan menatap padaku dengan mata banjir serta sendat-sendat
isakan.
“Ana mau ikut dengan Kakak?” tanyaku,
lembut. Kuseka air mata yang membasahi pipinya dengan sapu tangan.
Dia tak menjawab. Matanya tetap pada
diriku, bening dan jujur.
“Kita akan tinggal bertiga: Ana, Kakak
dan Ibu Kos. Mau, Ana?”
Ana menggigit bibir dan merunduk,
dadanya terguncang-guncang oleh sisa isakan yang meletup dari kesedihannya,
perlahan sekali ia menggeleng.
“Ana nggak mau? Nggak mau tinggal dengan
Kakak?” tanyaku, kaget.
Dia menggeleng lagi, lebih tegas.
“Kenapa?”
Dia menatapku dan kembali menggeleng.
“Ana nggak tahu, di mana Ana dilahirkan
Ibu, dan Ana juga nggak tahu di mana seharusnya Ana hidup dan mati…”, katanya,
lirih.
Aku tersentak dan terhenyak pada
sandaran. Ini bukan kata-kata dari seorang gadis kecil seperti dia! Ini
kata-kata Malaikat yang sedang datang padanya… dan berarti dia sedang menuju…
Oh, tidak! Aku memejam rapat. Bayangan buruk itu seperti lintasan prahara yang
tak tertahan, hitam dan menakutkan!
“Ana mau ikut Bapak dan Ibu. Ana nggak
mau ditinggal, Ana takut sendirian…” Dia menangis lagi, mendekapku erat-erat,
seperti meminta perlindungan.
Aku sendiri, diam-diam, kemudian ikut
menangis. Menangisi kemalangan yang tak mampu dielakkan.
Dan mungkin inilah yang dinamakan
kodrat. Suratan yang berlaku atas manusia, tak terelakkan, tak mampu dielakkan!
Itulah yang berlaku. Aku tak kuasa memaksakan maksudku atas gadis kecil itu
untuk ikut bersamaku, di tempat kosku. Dia berpijak pada kodratnya, utuh
seutuhnya, dan aku tak mampu menggoyahkannya. Dia berkisar atas jalur
kebenarannya, atas jalan semestinya.
Dia kuantarkan kembali ke tempatnya
semula, di bawah pilar jembatan penyeberangan dekat pelabuhan, di sanalah
kemudian ia duduk… beralaskan karton lusuh.
“Ana, di mana kamu tidur nanti malam?”
aku berlutut di sampingnya.
Dia menatapku dan lalu menggeleng.
“Di mana pun Ana tidur nanti malam, sama
saja artinya, Kak,” katanya.
Aku menghela nafas.
“Tapi tidur di tempat terbuka nggak baik
buat kesehatan, Ana,” nasihatku.
Dia cuma tersenyum.
“Sejak lahir, Ana justru belum pernah
tidur di tempat tertutup, Kak,” katanya. “Ana kuatir, Ana malah akan sakit
kalau tidur di tempat tertutup,” lanjutnya, sambil tertawa lucu.
Aku mencoba turut tertawa, tetapi
terlalu perih rasanya. Akhirnya aku cuma mampu tersenyum getir. Dia sebenarnya
telah banyak mengenal hakekat hidupnya.
Ketika aku hendak pulang, uang kembalian
dari warung nasi rawon Pak Brahim yang tiga ribu delapan ratus rupiah kuberikan
padanya. Uang itu, lima ribu rupiah asalnya, adalah sisa uang hadiah lomba
cerpen yang diselenggarakan STKIP Pasuruan tiga hari lalu. Semua uang itu
berjumlah dua puluh lima ribu, tetapi yang dua puluh ribu kemudian terpakai
untuk membayar kos empat bulan ke depan. Dan sisanya yang lima ribu itu tadinya
kumaksudkan untuk membayar uang sekolah, namun ternyata rizki Ana lebih baik
daripada niatku, maka ya… begitulah. Rizki toh tak bisa diduga-duga, kapan
datang pada kita, dan kapan datang kepada orang lain?
“Terima kasih, Kak,” ucap Ana ketika
menerima uang itu, tulus. “Kakak baik sekali pada Ana.”
Aku cuma tersenyum dan mengelus
kepalanya.
“Tuhan Maha Adil dan Bijaksana, Ana. Dia
Maha Tahu, kepada siapa Dia akan memberi dan lewat siapa Dia memberi. Tuhan
member rizki kepada Kakak, dan lewat Kakak Dia memberimu rizki,” kataku,
lembut. “Pergunakanlah uang itu baik-baik, dan pesan Kakak: "Ana jangan
menangis lagi.”
Dia mengangguk.
“Besok akan Kakak belikan pakaian buat
Ana, yang bagus, yang cocok buat Ana.“ Dia tersenyum senang. “Dan Insya Allah,
kalau Kakak punya uang, kita makan nasi rawon istimewa lagi di warung Pak
Brahim. Ana suka makan di sana?”
“Suka, Kak. Nasi rawonnya enak sekali,”
katanya gembira.
Aku tersenyum. Ada kebahagiaan yang
menjalar di sekujur tubuh.
“Nah, sekarang Kakak harus segera
pulang. Banyak PR yang harus Kakak kerjakan, jadi Kakak nggak bisa menemani Ana
lama-lama. Baik-baik ya? Dan jangan menangis lagi, ingat.”
Dia mengangguk dan tersenyum ceria.
“Terima kasih, Kak. Ana janji, Ana nggak
akan menangis lagi,” katanya.
Aku mengelus kepalanya dengan perasaan
sayang dan iba. Entah kenapa, tiba-tiba ada sesuatu yang menggayuti diriku.
Berat, berat sekali! Aku tak tahu, perasaan apa itu sebenarnya?
Aku bangkit berdiri, menatapnya sekali
lagi, kemudian kupaksakan kakiku untuk melangkah. Aku berjalan kaki menuju
jalan Diponegoro tempatku indekos. Aku melambai padanya. Ia membalas dengan
senyum.
Ketika aku melangkah, kurasakan perasaan
berat yang menggayut itu kian menjadi. Entah mengapa, sekonyong-konyong ada
perasaan tak rela pada perpisahan ini dalam diriku. Dan tentu saja aku jadi
gelisah karenanya.
Setiba di tempat kos, setelah menaruh
tas sekolah di kamarku, aku segera pergi ke kamar Ibu Kos. Ibu Kos yang sudah
kuanggap sebagai ibu sendiri itu sedang berbaring setengah duduk di sana, di
atas tempat tidurnya. Sudah tiga hari ini ia sakit.
“Baru pulang, Pri?” ujar ibu kos
menyambutku.
“Iya, Bu,” aku duduk di tepi
pembaringannya. “Ibu sudah makan? Minum obat?”
Ibu Kos menjawabi dengan
anggukan-anggukan.
“Kalau begitu sekarang ibu harus tidur,”
kataku, sambil bergerak membantunya berbaring sepenuhnya.
“Ya, ya. Tapi tunggu dulu.”
“Ada apa, Bu?”
“Ada sesuatu yang membuatmu berubah.”
“O, ya? Darimana Ibu tahu?”
Ibu Kos tersenyum saja.
“Aku ibu kos mu, Pri. Hampir tiga tahun
kita bersama, dan aku tahu betul akan dirimu. Ayo katakan, apa sebenarnya
sesuatu itu?”
“Ibu mau tahu?”
Ibu Kos mengangguk antusias.
Maka kuceritakanlah segalanya. Segalanya
tentang gadis kecil itu, tentang penderitaannya dan tentang semua kemalangannya.
Tentang seorang gadis kecil yang sempurna oleh derita hidup. Dan Ibu Kos
menangisinya. Dan aku pun menangisinya! Dia masih terlalu kecil untuk menentang
hidup seorang diri, dia masih terlalu kecil untuk memikul beban yang maha berat
itu, dia masih terlalu kecil…
“Jupri… kamu harus menolongnya. Kamu
harus membawanya ke sini. Dia butuh perlindungan, dia butuh naungan, dia butuh
uluran tangan kita…. Kamu harus menyelamatkannya dari penderitaannya, kamu
harus… itu kewajibanmu, Jupri…,” ujar Ibu Kos, tersendat-sendat oleh tangisnya.
“Iya, Bu. Aku akan menolongnya. Aku akan
membawanya ke sini…”
“Kamu janji?”
“Aku janji, Bu.”
Ibu Kos meraih tanganku, mendekapnya,
dan kami bertangis-tangisan.
Keesokan harinya, pulang sekolah, dengan
bungkusan plastik kresek berisi baju, aku menuju ke jembatan penyeberangan
dekat pelabuhan itu. Tetapi ketika aku tiba di bawah jembatan itu aku tertegun.
Ana tak ada di situ, tidak juga karton lusuh alas duduknya. Aku menggigit bibir
dan bergegas mencarinya, di warung Pak Brahim, tempat dia kemarin makan, tak
ada. Di warung-warung nasi sepanjang jalan raya Pasuruan juga tak ada. Kususuri
juga kampung Bangilan, sepanjang jalan Niaga, alun-alun, Panglima Sudirman,
jalan Melati, jalan Jawa, di sudut-sudut perempatan tak ada juga. Udara Kota
Pasuruan yang terik membuat tubuhku bermandi peluh. Aku kembali ke bawah
jembatan semula, berdiri terpaku di tempat Ana kemarin duduk. Aku merasa sedang
bermimpi buruk.
“Ana, di mana kamu? Ke mana kamu…?”
Hatiku remuk redam oleh kegelisahan dan
ketakutan.
Oooohhh… inikah perasaan yang menggayut
kemarin? Inikah…?
“Ana…” aku bersimpuh dan menangis. Pedih
sekali perasaanku. Kau tak kutemukan…
………………………………………
(***)
(Kawan,..pada suatu hari,… jika kamu
bertemu dengan gadis kecil berbaju lusuh menatap iba penuh harap
kepadamu,…kasihi dan bantulah dia. Hilangkan laparnya dengan rizki yang kamu
punya…)
Pasuruan, 28 April 1990.