Garis Besar Pembelajaran Mendalam
Posted by pengawassdkotamalang On 07.57 with No comments
Definisi
Pembelajaran Mendalam merupakan pendekatan yang memuliakan dengan menekankan pada penciptaan suasana belajar dan proses pembelajaran berkesadaran, bermakna, dan menggembirakan melalui olah pikir, olah hati, olah rasa, dan olah raga secara holistik dan terpadu
1.Berkesadaran
Pengalaman belajar peserta didik yang diperoleh ketika
mereka memiliki kesadaran untuk menjadi pembelajar yang aktif dan mampu
meregulasi diri. Peserta didik memahami tujuan pembelajaran, termotivasi secara
intrinsik untuk belajar, serta aktif mengembangkan strategi belajar untuk
mencapai tujuan.
2. Bermakna
Peserta didik dapat merasakan manfaat dan relevansi dari
hal-hal yang dipelajari untuk kehidupan. Peserta didik mampu mengkonstruksi
pengetahuan baru berdasarkan pengetahuan lama dan menerapkan pengetahuannya
dalam kehidupan nyata.
3. Menggembirakan
Pembelajaran yang menggembirakan merupakan suasana belajar
yang positif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi. Peserta didik merasa
dihargai atas keterlibatan dan kontribusinya pada proses pembelajaran. Peserta
didik terhubung secara emosional, sehingga lebih mudah memahami, mengingat, dan
menerapkan pengetahuan.
Materi lselengkapnya unduh pada tautan berikut:
1. Paparan Pembelajaran Mendalam
2. Naskah Akademik Pembelajaran Mendalam
Kegiatan Ramadhan SDN Ciptomulyo 2 Wujudkan Visi Sekolah Melalui Ibadah dan Prestasi
Posted by pengawassdkotamalang On 12.24 with No comments
MALANG-Dalam
rangka menyambut bulan Ramadhan, SDN Ciptomulyo 2 yang terletak di Jalan
Kolonel Sugiono Gang 8 No. 54, Sukun, Kota Malang, menyelenggarakan serangkaian
kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan siswa serta
mempererat ikatan mereka dengan agama Islam. Kegiatan yang dilaksanakan
meliputi kultum, khotmil Qur’an, dan tadarus Al-Qur’an.
"Melalui
kegiatan-kegiatan ini, kami ingin mewujudkan visi sekolah, yakni mencetak insan
yang beriman, bertaqwa, berkarakter baik, serta memiliki prestasi dan wawasan
yang luas mengenai IPTEK, lingkungan, dan budaya Indonesia," ujar Bu
Nursyamsiyah, S.Pd., Kepala Sekolah SDN Ciptomulyo 2.
Kultum
dilaksanakan setiap pagi menjelang pembelajaran, dengan durasi 15 menit yang
disampaikan oleh guru Pendidikan Agama Islam. Sementara itu, khotmil Qur’an
dilakukan serentak oleh guru dan siswa di mushola, yang dilaksanakan dalam satu
hari. Selain itu, tadarus Al-Qur’an juga menjadi kegiatan rutin setiap hari
Jumat, di mana siswa dan guru bersama-sama mengkhatamkan satu juz sebelum
memulai pembelajaran.
Kegiatan Pondok
Ramadhan ini mengacu pada Surat Edaran bersama tiga menteri (revisi) pada 23
Februari 2025 yang bertujuan untuk "meningkatkan keimanan dan ketaqwaan
guru dan siswa, serta menanamkan pemahaman untuk memperbanyak ibadah di bulan
Ramadhan," jelas Bu Nursyamsiyah, yang telah menjabat sebagai Kepala
Sekolah selama tiga tahun.
Secara
keseluruhan, SDN Ciptomulyo 2 berdiri di atas lahan seluas 3000 m2 dan memiliki
211 siswa, 11 guru, dan 5 tenaga kependidikan. Dalam upaya meningkatkan
kualitas pendidikan pentingnya
"memperbaiki kualitas guru dalam menyampaikan pembelajaran, mendisiplinkan
anak-anak agar mengikuti pembelajaran, serta menjalin kerja sama yang baik
dengan orang tua wali murid" Jelas Ibu 2 anak tersebut.
Tak hanya
unggul dalam bidang akademik, SDN Ciptomulyo 2 juga meraih berbagai prestasi di
bidang olahraga dan seni. Tim futsal sekolah ini berhasil menjuarai kompetisi
hingga tingkat provinsi. Selain itu, SDN Ciptomulyo 2 juga meraih juara 1 dalam
lomba tari di tingkat gugus, dan juara 2 dalam lomba pantomim di tingkat
kecamatan. Prestasi terbaru yang diraih adalah Juara 1 dalam kompetisi tingkat
PJ Walikota pada tahun 2024.
Dengan semangat
kebersamaan dan prestasi yang terus berkembang, SDN Ciptomulyo 2 terus
berkomitmen untuk mencetak generasi yang unggul baik dalam bidang akademik,
agama, maupun kepribadian. (Jupri,Dwi,Ranni,
Karisma)
DESK RUMAH PENDIDIKAN
Posted by pengawassdkotamalang On 07.16 with No comments
SEPENGGAL KISAH DI MASA SPG
Posted by pengawassdkotamalang On 06.23 with No comments
Cerpen:
Oleh: Joeprie
Kalau saja ia tidak berada di situ saat
ini, barangkali seharusnya ia sedang di antara kedua orang tuanya yang bangga
akan kelucuan dan kemanisannya. Dan dia menyanyi, menari, tertawa dan bermanja.
Ia ceria, seceria teman-teman sebayanya.
Tetapi… ia ada di situ sekarang. Duduk
memeluk lutut di bawah pilar jembatan dekat pelabuhan, dan sedang menangis
dengan suara yang menyayat hati.
Dia sebenarnya seorang gadis kecil yang
manis, meskipun ia kini tampak kumal dan kotor. Sebagai manusia, dia sudah
mulai sempurna, karena dia telah hadir dan mengenal hidup, meski belum
dimengertinya. Namun sebagai seorang kanak-kanak, ia telah kehilangan
kesempurnaan, sebab ia tidak mengenal arti kanak-kanaknya yang sebenarnya.
Kehidupan telah merenggutnya dari dunianya itu.
Dia masih terus menangis ketika aku
datang kepadanya. Mata dan pipinya basah oleh air mata.
“Kenapa, Dik?” tanyaku, membungkuk di
hadapannya.
Dia mengangkat muka dan memandang padaku
dengan mata banjir. Tatapannya itu membuat dadaku terasa perih. Dia begitu
takut pada hidupnya. Dia begitu menderita dan tak berdaya.
“Adik kenapa? Tersesat?” tanyaku lagi.
Kusingkirkan seuntai rambut yang berjuntai di keningnya.
Dia menggeleng lemah. Tangisnya mulai
surut.
“Lalu kenapa adik menangis?”
Dia meraba perutnya lalu berkata pelan,
di antara isakannya. “Ana lapar, Kak. Ana belum makan dari pagi.”
Aku tersentak. Ada sesuatu yang tergurit
pedih. Dia seorang gadis kecil yang manis, menangis sendirian di bawah pilar jembatan
karena lapar…Oh Tuhan…betapa kejamnya hidup menyiksanya. Betapa tak adilnya
dunia bersikap kepadanya.
“Adik mau makan?” suaraku kudengar parau
dan gemetar.
Dia mengangguk kecil, tanpa malu-malu.
Kuajak ia bangkit dan lalu kugandeng
meninggalkan tempat itu. Setelah menyusuri jalan raya Pasuruan ke arah barat,
kami masuk warung nasi rawon Pak Brahim daerah Kedong Wolu. Warung ini terkenal
dengan masakan rawonnya yang nikmat. Anak-anak SPG setiap habis ada kegiatan
kerja bakti sampai sore di sekolah, selalu makan bersama di warung ini dengan
biaya dari guru yang memberi tugas. Di sana kupesankan untuknya, seporsi nasi
rawon istimewa. Sebenarnya di seberang jalan sana ada banyak warung nasi murah,
tetapi tidak, aku tak sampai hati mengajaknya ke sana. Sudah cukup penderitaan
direguknya, sekarang biarlah aku mengajaknya melupakan itu sejenak. Karena
hidup pun tak selalu pahit.
Sambil menunggu pesanan selesai
dibuatkan, kuajak ia ke kamar mandi. Kusuruh ia membasuh muka, tangan dan
kakinya di sana. Untuk melap muka dan tangannya, kuberikan sapu tanganku
padanya. Ketika sedang melap mukanya, kuperhatiakan ia, dan berulah kusadari,
ia sebenanrnya tak patut dengan keadaannya itu, dengan pakaian kumalnya itu, dengan
kaki telanjangnya itu. Ia seharusnya seorang gadis kecil yang manis di
tengah-tengah keluarganya yang sangat menyayanginya, bukan seorang gadis kecil
yang kotor dan kumal di bawah jembatan penyeberangan dekat pelabuhan.
Ketika kami kembali ke meja, di sana
telah terhidang sepiring nasi rawon istimewa yang masih berasap dan dua gelas
es teh manis.
“Minum dulu, Dik,” kataku padanya,
seraya aku sendiri mengangkat gelasku.
Dia meminum es teh manisnya, setengah
gelas sekali minum.
“Makanlah pelan-pelan, masih panas,”
kataku lagi, setelah ia meletakkan gelasnya.
Dia mulai makan, pelan-pelan tapi tampak
sekali kelahapannya. Aku memperhatikannya dengan perasaan bahagia bercampur
haru. Entah kenapa tiba-tiba ia berhenti makan dan memandang padaku.
“Kakak nggak makan?” tanyanya.
Aku tersenyum dan menggeleng pelan.
“Kakak sudah makan tadi, di sekolahan,”
jawabku.
Dia melanjutkan lagi makannya.
“Kakak sekolah di mana, sih?” tanyanya,
suatu kali, di tengah makannya.
“Di SPG Negeri. Kenapa?”
“SPG itu apa, Kak?”
“Sekolah Pendidikan Guru.”
“Oh, kakak guru, ya?”
“Bukan. Tapi, calon guru. Kakak ingin
jadi guru. Makanya sekolah di sekolah pendidikan guru. Memangnya kenapa?”
“Nggak apa-apa,” dia menggeleng-geleng,
tapi aku melihat kesedihannya.
“Kamu sudah sekolah?”
Dia menggeleng-geleng lagi, murung.
“Sudahlah selesaikan dulu makanmu. Kalau
sudah selesai baru kita ngobrol.”
Dia segera menyelesaikan makannya.
Tandas sepiring nasi rawon istimewa itu dibuatnya.
“Mau tambah lagi?” tanyaku.
Dia menggeleng, sambil mengangkat gelas
es teh manisnya dan lalu direguknya isinya, hingga tuntas. Diam-diam hatiku
terenyuh dibuatnya.
“Kakak kelas berapa?” tanyanya, setelah
menyeka mulut dengan punggung lengannya.
“Kelas tiga.”
“Kok sudah besar baru kelas tiga sih?”
Aku tersenyum mendengar pertanyaan
lugunya itu.
“Kelas tiganya kelas tiga besar, bukan
kelas tiga kecil. Atau bisa dikatakan sebagai kelas dua belas.”
“Kelas dua belas?” dia tertawa lucu.
“Emang ada, Kak?”
Aku juga tertawa jadinya. Keluguannya
itulah penyebabnya.
“Memang nggak ada. Itu kan cuma istilah
kakak saja, supaya kamu mengerti, bahwa kelas tiga besar sama artinya dengan
kelas dua belas. Paham?”
Dia mengangguk. Dia sebenarnya anak yang
cerdas.
“Oh,ya. Kakak belum tahu siapa namamu?”
“Nama saya Ana. Nama Kakak?”
“Jupri. Panggil saja Kak Pri.”
Dia mengangguk dengan senyum lebar.
“Nama Kakak jelek, tapi Kakak orangnya
baik.” ujarnya.
Aku tertawa saja. “Apalah arti sebuah
nama? Melati meskipun diganti nama comberan, ia tetaplah melati yang senantiasa
menebarkan aroma wangi, he…he…he…” jawabku berfilsafat.
Ana tersenyum manis. Kupencet hidungnya
yang bangir mungil, gemas. Dia tertawa gembira.
Siapa yang akan menyangka bahwa dia
adalah seorang gadis kecil yang malang? Dan siapa pula yang akan menduga bahwa
dia adalah perlambang hitamnya masa kanak-kanak?
“Ana. Selama ini sebenarnya kamu tinggal
di mana?” tanyaku, memandangnya.
Ana menggeleng pelan. Dalam matanya aku
melihat kemurungan yang bangkit.
“Sejak masih bersama Bapak dan Ibu, kami
tak pernah punya tempat tinggal tetap. Kami selalu berpindah-pindah, dari
kolong jembatan yang satu ke kolong jembatan yang lain,” katanya dengan mata
yang mulai berkaca-kaca.
“Oh!” aku tersentak, tercekat. Ada
sesuatu yang tergurit robek di dadaku.
“Lalu di mana bapak dan ibumu sekarang
tinggal?” tanyaku dengan perasaan getir.
Ana mulai terisak-isak. Air mata merayap
turun di pipinya, bening. Aku memeluknya. Dia menangis dalam dekapanku. Hatiku
remuk redam.
“Ana nggak punya Bapak Ibu lagi, Kak.”
Dia tersedu-sedu. “Bapak Ibu Ana sudah meninggal…”
Aku menggigit bibir. Perasaanku bagai
dirobek-robek rasanya. Dia ternyata lebih menderita dari yang kuperkirakan… Dua
bulir hangat kurasakan merayapi pipi-pipiku, luluh pelahan…
Hidup memang kadang jauh lebih buruk
dari yang terbayangkan, tetapi mengapa gadis sekecil ini mesti menjalaninya?
Padahal jelas dia belum banyak mengerti mengapa ia mesti menderita, dan untuk
apa? Dia memang belum banyak mengerti, tetapi ia tahu, ia harus mereguk
penderitaan yang disodorkan kepadanya. Dia tak berdaya, sama sekali tak
berdaya! Hidup memang selalu memaksa manusia agar tak berdaya, namun kenapa
mesti pada gadis sekecil ini pula? Ah,…inikah kodratMu, Tuhan?
Ana terus menangis dalam pelukanku. Sedu
sedannya terdengar sangat menyayat dan menggiris-giris. Aku mengerti, ia mulai
menyadari penderitaannya. Ia mulai dapat melihat hari-hari esoknya yang gelap
gulita, tanpa pegangan, tanpa secercah nyala dian pun. Dan dia takut terjerumus
pada jurang yang tak pernah dilihatnya. Dia sangat takut… Dia butuh
perlindungan, dia butuh tangan tempat berpegangan. Dia butuh sedikit cahaya
untuk menyuluhi jalannya yang berliku dan terjal. Dia butuh seseorang untuk
hidup-hidupnya mendatang…tetapi siapa?
“Ana…” himbauku, mengelus kepalanya. Dia
mengangkat kepala dan menatap padaku dengan mata banjir serta sendat-sendat
isakan.
“Ana mau ikut dengan Kakak?” tanyaku,
lembut. Kuseka air mata yang membasahi pipinya dengan sapu tangan.
Dia tak menjawab. Matanya tetap pada
diriku, bening dan jujur.
“Kita akan tinggal bertiga: Ana, Kakak
dan Ibu Kos. Mau, Ana?”
Ana menggigit bibir dan merunduk,
dadanya terguncang-guncang oleh sisa isakan yang meletup dari kesedihannya,
perlahan sekali ia menggeleng.
“Ana nggak mau? Nggak mau tinggal dengan
Kakak?” tanyaku, kaget.
Dia menggeleng lagi, lebih tegas.
“Kenapa?”
Dia menatapku dan kembali menggeleng.
“Ana nggak tahu, di mana Ana dilahirkan
Ibu, dan Ana juga nggak tahu di mana seharusnya Ana hidup dan mati…”, katanya,
lirih.
Aku tersentak dan terhenyak pada
sandaran. Ini bukan kata-kata dari seorang gadis kecil seperti dia! Ini
kata-kata Malaikat yang sedang datang padanya… dan berarti dia sedang menuju…
Oh, tidak! Aku memejam rapat. Bayangan buruk itu seperti lintasan prahara yang
tak tertahan, hitam dan menakutkan!
“Ana mau ikut Bapak dan Ibu. Ana nggak
mau ditinggal, Ana takut sendirian…” Dia menangis lagi, mendekapku erat-erat,
seperti meminta perlindungan.
Aku sendiri, diam-diam, kemudian ikut
menangis. Menangisi kemalangan yang tak mampu dielakkan.
Dan mungkin inilah yang dinamakan
kodrat. Suratan yang berlaku atas manusia, tak terelakkan, tak mampu dielakkan!
Itulah yang berlaku. Aku tak kuasa memaksakan maksudku atas gadis kecil itu
untuk ikut bersamaku, di tempat kosku. Dia berpijak pada kodratnya, utuh
seutuhnya, dan aku tak mampu menggoyahkannya. Dia berkisar atas jalur
kebenarannya, atas jalan semestinya.
Dia kuantarkan kembali ke tempatnya
semula, di bawah pilar jembatan penyeberangan dekat pelabuhan, di sanalah
kemudian ia duduk… beralaskan karton lusuh.
“Ana, di mana kamu tidur nanti malam?”
aku berlutut di sampingnya.
Dia menatapku dan lalu menggeleng.
“Di mana pun Ana tidur nanti malam, sama
saja artinya, Kak,” katanya.
Aku menghela nafas.
“Tapi tidur di tempat terbuka nggak baik
buat kesehatan, Ana,” nasihatku.
Dia cuma tersenyum.
“Sejak lahir, Ana justru belum pernah
tidur di tempat tertutup, Kak,” katanya. “Ana kuatir, Ana malah akan sakit
kalau tidur di tempat tertutup,” lanjutnya, sambil tertawa lucu.
Aku mencoba turut tertawa, tetapi
terlalu perih rasanya. Akhirnya aku cuma mampu tersenyum getir. Dia sebenarnya
telah banyak mengenal hakekat hidupnya.
Ketika aku hendak pulang, uang kembalian
dari warung nasi rawon Pak Brahim yang tiga ribu delapan ratus rupiah kuberikan
padanya. Uang itu, lima ribu rupiah asalnya, adalah sisa uang hadiah lomba
cerpen yang diselenggarakan STKIP Pasuruan tiga hari lalu. Semua uang itu
berjumlah dua puluh lima ribu, tetapi yang dua puluh ribu kemudian terpakai
untuk membayar kos empat bulan ke depan. Dan sisanya yang lima ribu itu tadinya
kumaksudkan untuk membayar uang sekolah, namun ternyata rizki Ana lebih baik
daripada niatku, maka ya… begitulah. Rizki toh tak bisa diduga-duga, kapan
datang pada kita, dan kapan datang kepada orang lain?
“Terima kasih, Kak,” ucap Ana ketika
menerima uang itu, tulus. “Kakak baik sekali pada Ana.”
Aku cuma tersenyum dan mengelus
kepalanya.
“Tuhan Maha Adil dan Bijaksana, Ana. Dia
Maha Tahu, kepada siapa Dia akan memberi dan lewat siapa Dia memberi. Tuhan
member rizki kepada Kakak, dan lewat Kakak Dia memberimu rizki,” kataku,
lembut. “Pergunakanlah uang itu baik-baik, dan pesan Kakak: "Ana jangan
menangis lagi.”
Dia mengangguk.
“Besok akan Kakak belikan pakaian buat
Ana, yang bagus, yang cocok buat Ana.“ Dia tersenyum senang. “Dan Insya Allah,
kalau Kakak punya uang, kita makan nasi rawon istimewa lagi di warung Pak
Brahim. Ana suka makan di sana?”
“Suka, Kak. Nasi rawonnya enak sekali,”
katanya gembira.
Aku tersenyum. Ada kebahagiaan yang
menjalar di sekujur tubuh.
“Nah, sekarang Kakak harus segera
pulang. Banyak PR yang harus Kakak kerjakan, jadi Kakak nggak bisa menemani Ana
lama-lama. Baik-baik ya? Dan jangan menangis lagi, ingat.”
Dia mengangguk dan tersenyum ceria.
“Terima kasih, Kak. Ana janji, Ana nggak
akan menangis lagi,” katanya.
Aku mengelus kepalanya dengan perasaan
sayang dan iba. Entah kenapa, tiba-tiba ada sesuatu yang menggayuti diriku.
Berat, berat sekali! Aku tak tahu, perasaan apa itu sebenarnya?
Aku bangkit berdiri, menatapnya sekali
lagi, kemudian kupaksakan kakiku untuk melangkah. Aku berjalan kaki menuju
jalan Diponegoro tempatku indekos. Aku melambai padanya. Ia membalas dengan
senyum.
Ketika aku melangkah, kurasakan perasaan
berat yang menggayut itu kian menjadi. Entah mengapa, sekonyong-konyong ada
perasaan tak rela pada perpisahan ini dalam diriku. Dan tentu saja aku jadi
gelisah karenanya.
Setiba di tempat kos, setelah menaruh
tas sekolah di kamarku, aku segera pergi ke kamar Ibu Kos. Ibu Kos yang sudah
kuanggap sebagai ibu sendiri itu sedang berbaring setengah duduk di sana, di
atas tempat tidurnya. Sudah tiga hari ini ia sakit.
“Baru pulang, Pri?” ujar ibu kos
menyambutku.
“Iya, Bu,” aku duduk di tepi
pembaringannya. “Ibu sudah makan? Minum obat?”
Ibu Kos menjawabi dengan
anggukan-anggukan.
“Kalau begitu sekarang ibu harus tidur,”
kataku, sambil bergerak membantunya berbaring sepenuhnya.
“Ya, ya. Tapi tunggu dulu.”
“Ada apa, Bu?”
“Ada sesuatu yang membuatmu berubah.”
“O, ya? Darimana Ibu tahu?”
Ibu Kos tersenyum saja.
“Aku ibu kos mu, Pri. Hampir tiga tahun
kita bersama, dan aku tahu betul akan dirimu. Ayo katakan, apa sebenarnya
sesuatu itu?”
“Ibu mau tahu?”
Ibu Kos mengangguk antusias.
Maka kuceritakanlah segalanya. Segalanya
tentang gadis kecil itu, tentang penderitaannya dan tentang semua kemalangannya.
Tentang seorang gadis kecil yang sempurna oleh derita hidup. Dan Ibu Kos
menangisinya. Dan aku pun menangisinya! Dia masih terlalu kecil untuk menentang
hidup seorang diri, dia masih terlalu kecil untuk memikul beban yang maha berat
itu, dia masih terlalu kecil…
“Jupri… kamu harus menolongnya. Kamu
harus membawanya ke sini. Dia butuh perlindungan, dia butuh naungan, dia butuh
uluran tangan kita…. Kamu harus menyelamatkannya dari penderitaannya, kamu
harus… itu kewajibanmu, Jupri…,” ujar Ibu Kos, tersendat-sendat oleh tangisnya.
“Iya, Bu. Aku akan menolongnya. Aku akan
membawanya ke sini…”
“Kamu janji?”
“Aku janji, Bu.”
Ibu Kos meraih tanganku, mendekapnya,
dan kami bertangis-tangisan.
Keesokan harinya, pulang sekolah, dengan
bungkusan plastik kresek berisi baju, aku menuju ke jembatan penyeberangan
dekat pelabuhan itu. Tetapi ketika aku tiba di bawah jembatan itu aku tertegun.
Ana tak ada di situ, tidak juga karton lusuh alas duduknya. Aku menggigit bibir
dan bergegas mencarinya, di warung Pak Brahim, tempat dia kemarin makan, tak
ada. Di warung-warung nasi sepanjang jalan raya Pasuruan juga tak ada. Kususuri
juga kampung Bangilan, sepanjang jalan Niaga, alun-alun, Panglima Sudirman,
jalan Melati, jalan Jawa, di sudut-sudut perempatan tak ada juga. Udara Kota
Pasuruan yang terik membuat tubuhku bermandi peluh. Aku kembali ke bawah
jembatan semula, berdiri terpaku di tempat Ana kemarin duduk. Aku merasa sedang
bermimpi buruk.
“Ana, di mana kamu? Ke mana kamu…?”
Hatiku remuk redam oleh kegelisahan dan
ketakutan.
Oooohhh… inikah perasaan yang menggayut
kemarin? Inikah…?
“Ana…” aku bersimpuh dan menangis. Pedih
sekali perasaanku. Kau tak kutemukan…
………………………………………
(***)
(Kawan,..pada suatu hari,… jika kamu
bertemu dengan gadis kecil berbaju lusuh menatap iba penuh harap
kepadamu,…kasihi dan bantulah dia. Hilangkan laparnya dengan rizki yang kamu
punya…)
Pasuruan, 28 April 1990.
AKU DIHINA KARENA HANYA SEORANG GURU SD
Posted by pengawassdkotamalang On 06.21 with No comments
Oleh: Jupri
1/12/2023
#Bagian 1
Hijrah ke Kota Malang
Selepas menamatkan pendidikan SPG Negeri
di Kota Pasuruan yang panas, aku hijrah ke Kota Malang. Benar kata orang,
Malang Kota Dingin, Kota Bunga, Kota Pariwisata dan aneka sebutan lain yang
membuat orang betah. Kuputuskan untuk mencari kos, dan menjadi warga kota ini.
Aku merasa kerasan dengan suasana kota yang teduh, sejuk dan nyaman. Sesuai
dengan latar belakang pendidikan, aku memutuskan untuk bekerja sebagai guru
sekolah dasar.
Tanpa terasa sudah lima tahun bekerja
sebagai guru. Aku punya teman baik banget seperti saudara. Dia juga guru.
Kemarin ketika jam istirahat ia datang ke kelasku dan berkata to the point,
“Sudah waktunya kamu nikah, Sob. Aku punya keponakan yang cuantiiik, banget.
Sekali ketemu pasti kamu klepek-klepek,” tawarnya sambil tertawa. Tanpa babibu
ia segera mengajakku ke rumahnya. Gila! benar saja, sesampai di rumah yang kami
tuju seorang gadis anggun, cantik nan rupawan, berdiri depan pintu
mempersilakan kami masuk.
“Kenalkan Yu, ini Jafri, temanku satu
sekolahan,” kata Andri langsung nyelonong masuk ke dalam rumah sebelum
dipersilahkan. Aku mengulurkan tangan dan dia pun menyambutnya sambil menyebut
nama. “Ayu,” katanya. DEG! Jantungku berdetak kencang seperti ada gempa.
Kugenggam erat tangannya, dia membiarkan dengan seulas senyum. Senyumnya itu,
uh! Maniiis banget seperti ice cream. Dan aku suka sekali ice cream, maka aku
tak hendak berkedip sedetik pun untuk menikmati senyuman Ayu, he3x...
Benar kata teman-teman, gadis Kota
Malang itu cantik-cantik. Tidak salah! Kini dia berdiri di depanku. Tinggi
semampai, tampak anggun dengan rambut hitam panjang terurai, kulit putih halus
dan mata berbinar, sejuk seperti telaga.
“Ehem,” kudengar suara berdehem dari
dalam rumah. Aku kaget dan spontan melepas genggaman dari tangan Ayu yang
tertunduk tersipu malu. Aku jadi salah tingkah ketika seorang tinggi besar,
yang berdehem itu rupanya ayah Ayu mempersilakan aku duduk.
Ayah Ayu ramah banget. Sejak saat itu,
aku sering bermain ke rumahnya. Berita Andri, kedua orang tuanya suka sama aku
(karena aku baik, ramah, sopan dan juga ganteng he3x…muji diri sendiri gpp,
kan?) dan berharap aku segera melamar dan menikahinya. Hatiku berbunga-bunga,
menari-nari seperti film India. Tanpa berpikir panjang aku pun mewujudkan
harapan kedua orang tua Ayu.
Dan saat yang kunanti-nanti itu pun
tiba. Aku bernafas lega ketika tamu undangan kompak mengucap, “Sah!” menjawab
pertanyaan Pak Penghulu usai aku mengucap ijab kabul. Karena itu artinya aku
telah resmi menjadi seorang suami. Di tengah kebahagiaan itu, aku melirik Ayu,
pasti ia juga bahagia sepertiku. Tetapi, ia menunduk dengan mata mendung. Aku
mengernyitkan dahi, apakah dia bersedih? Kenapa? Ah, pasti dia menangis karena
bahagia, batinku. Segera kupeluk dia dan kukecup keningnya dengan perasaan
penuh cinta dan kasih sayang. Aku sudah tidak sabar untuk menunggu malam
pertama.
#Bagian 2
Malam Pertama yang Nggak Indah Blas
Malam kian larut, kumatikan lampu kamar,
mungkin saja karena terlalu terang aku kesulitan tidur. Tapi percuma, tetap
saja aku merasa gelisah gundah gulana. Aku menggulingkan tubuh ke kanan dan ke
kiri. Ayu tidak merasa terganggu. Dia masih nyenyak dalam tidurnya. Kupandangi
tubuh molek Ayu yang masih membelakangiku. Gila! Memandangnya saja membuat aku
bernafsu. Ingin segera kurengkuh dan kucumbu sepuas hati, tapi ada rasa tak
tega menghampiri. Dia terlihat sangat lelah.
Semakin lama, aku semakin tidak tahan.
Aku menyentuh bahunya perlahan dan menggoyangkannya. Berharap, dia mendengar
jeritan hatiku yang sedang meronta menginginkannya.
“Ayu…,” panggilku pelan.
Ayu masih tidak bergeming. Kemudian aku
memeluknya dari belakang, menyibak rambut panjangnya hingga terlihat leher
jenjang dia. Kucium, Ayu menggeliat kegelian. Terdengar desahan Ayu lirih,
namun kedua matanya masih terpejam. Aku membalikkan tubuhnya menjadi
terlentang. Aku menindihnya, tubuhnya ada di bawah kuasaku sekarang. Anehnya
dia masih juga terpejam. Tanganku mulai berkelana menyusuri keindahan tubuhnya.
Tiba-tiba Ayu terbangun, dia mendorongku
sekuat tenaganya. Matanya menyalang terpancar amarah. Apa aku begitu bersalah?
Kenapa dia memandangku seperti itu?
“Ayu, sayang,” ucapku ragu-ragu.
Dia terduduk dan hampir menangis. Lalu
kedua tangannya merapat, menutupi dadanya.
“Ayu…maaf, aku mengganggu tidurmu, ya?”
tuturku pelan merasa tidak enak.
“Jangan sentuh aku!” pekiknya dengan
suara lantang. DEG! Apa maksudnya? Aku suaminya tapi dia bilang untuk tidak
menyentuhnya. Aku benar-benar bingung dan tidak mengerti dibuatnya.
Aku mendekat, duduk di sampingnya dan
akan merangkulnya. Tapi di luar dugaan, dia mendorongku sekuat tenaga lalu
beranjak menangis.
“Tolong...jangan sentuh aku, Mas,”
isaknya membuat hatiku teriris.
“Apa salahku, Yu?” tanyaku bingung. Aku
frustasi dibuatnya. Tangisnya semakin
menjadi. Oke, aku kalah! Semakin
melihatnya tersedu-sedu, jantungku semakin terasa sesak.
“Mau kamu apa, Ayu?” tanyaku dari
kejauhan.
“Ceraikan aku, Mas,” ucapnya sambil
sesenggukan.
DUARRR!!! Rasanya ada yang meledak di
jantungku. Seperti bom Israel di tanah Gaza. Pernikahan kami belum genap 24
jam, tapi istriku sudah minta diceraikan. Astaga, permainan apa ini?
Aku menghela nafas panjang dan
menghembuskannya kasar. Mencoba menetralkan gemuruh jantung dan hatiku yang
terguncang.
Aku pikir, setelah menikah bisa
merasakan kebahagiaan yang selama ini aku damba. Bisa memasak bersama, duduk
sambil makan roti kering dan minum teh di teras rumah bersama, saling memadu
kasih, menyelesaikan tugas bersama dan mempunyai keturunan yang cantik atau
gantengnya seperti aku.Tapi ternyata aku salah! Impian itu hancur karena
istriku tidak menginginkan pernikahan ini.
“Ayu, bisa kita bicara sebentar?”
tanyaku hati-hati setelah tangisnya terhenti.
Ayu mengangguk, lalu duduk di tepi
ranjang. Wajahnya menunduk tidak melirikku sedikit pun. Terbersit dalam hatiku,
‘Apa aku terlihat sangat jelek? Melihat saja dia tidak mau. Perasaan, tampangku
jika dibanding Aldi Baran masih ganteng aku (preet!).’
Aku berjongkok di depannya. Kupegang
jemari kedua tangannya. Aku kecup dengan penuh cinta. Tapi sepertinya dia tidak
nyaman.
“Ayu, kenapa kamu berubah setelah kita
menikah? Apa aku telah melakukan kesalahan? Tolong katakan, Ayu, aku harus
bagaimana biar kamu bisa nerima aku?” Aku masih berjongkok di depannya,
mendongak memandang wajah cantiknya.
“Kamu mau dengar?” aku mengangguk dan
memperhatikannya.
“Maaf, Mas…sebenarnya aku menerimamu
karena dipaksa oleh orang tuaku. Mereka tidak merestui hubunganku dengan
pacarku. Sampai akhirnya Bang Andri ngenalin kamu. Kedua orang tuaku sangat
menyukaimu, karena itu mereka memaksaku untuk mau menerima lamaranmu,” Ayu
menghela nafas.
Dadaku sesak, rasanya seperti kehabisan
oksigen di ruangan itu. Jantungku berdetak sangat keras.
“Ayahku mengancam, jika aku tidak
menurutinya, beliau akan pergi dan tidak akan pernah mempedulikan keluarganya
lagi. Kamu tahu sendiri, ibu dan adikku masih membutuhkan beliau,” tutur Ayu
dengan air mata yang hampir tumpah.
“Maaf, Mas. Aku tidak bisa menolakmu
karena keluargaku. Aku tidak mau Ayah pergi hanya karena keegoisanku. Tapi jauh
dari lubuk hatiku, aku sangat mencintai pacarku. Kamu bisa memiliki ragaku,
tapi tidak hatiku, Mas,” tangisnya mulai pecah. Kedua tangannya menutupi
wajahnya, seakan melihatku saja enggan.
Ya, Tuhan, kenapa Engkau hadirkan rasa
sesakit ini. Hatiku seperti disayat sembilu. Tubuhku melemas hingga terduduk di
lantai. Pegangan tanganku perlahan terlepas.
Aku belum pernah menangis seumur
hidupku, tapi kali ini, aku menjadi pria yang paling lemah. Air mataku lolos
begitu saja. Terserah Ayu menganggapku seperti apa. Aku merasa berpijak pada
bumi yang runtuh. Sakit, hancur sampai menjadi serpihan.
#Bagian 3
Bertemu Gadis Liar
“Tidak bisakah kita mulai dari nol, Ayu?
Pepatah bilang tak kenal maka tak sayang. Witing tresno jalaran soko kulino,”
ucapku pelan setelah merenung sejenak.
“Ini bukan pepatah, Mas! Ini real life!
Aku hanya mencintai pacarku. Lagi pula kamu Cuma seorang guru SD. Apa kamu
mampu mencukupi semua kebutuhanku?” sinis Ayu menatapku remeh.
“Pacarku seorang direktur sebuah
perusahaan. Kami saling mencintai, hanya tinggal menunggu restu dari orang
tuaku saja. Tapi kamu tiba-tiba hadir dan menghancurkan semuanya. Aku yakin,
dia lebih mampu membahagiakanku daripada kamu,” tutur Ayu penuh penekanan
membuat darahku mendidih.
Hah! Aku salah menilaimu Ayu. Aku pikir
dia gadis lugu. Tapi ternyata? Aku yang terlalu bodoh mudah percaya mata polos
itu. Tapi tidak seperti ini juga caramu mempermainkan perasaanku! Bahkan aku
kamu rendahkan sampai ke dasar-dasar.
Mendengar ucapannya tanganku mengepal
kuat. Rahangku mengeras, jantungku berdetak berkali-kali lipat dari normalnya.
Emosi ini sudah sampai pada puncaknya. Aku berdiri, lalu membabi buta
memukul-mukul tembok. Tidak peduli tanganku remuk penuh darah. Saat ini aku
membutuhkan pelampiasan.
Dasar wanita ular! Apa semuanya seperti
kamu, Ayu! Aku benar-benar tidak menyangka dengan apa yang kamu lakukan. Sampai
mati pun aku akan mengingat bagaimana kamu menginjak harga diriku sampai
hancur. Kemudian aku pergi keluar. Pintu kamar kubanting dengan kasar, bahkan
hingga dindingnya bergetar. Aku yakin, Ayu pasti menangis ketakutan di sana.
Karena sekilas aku melihat matanya memerah. Aku tidak peduli lagi dengannya.
Tengah malam yang pekat itu, aku keluar
rumah. Tidak tahu membawa langkah kaki ini kemana. Aku tidak punya tujuan yang
jelas.
Aku berjalan berselimut awan gelap.
Dinginnya malam ini mampu menembus kaos polo yang kukenakan padahal sudah
berlapis jaket. Hanya terdengar deru lalu lalang mobil.
“HUAAAHH…..!”, aku berteriak keras
melepas rasa sesak di dada.
Rasa benci sudah memenuhi ruang hatiku.
Cinta yang baru tertanam telah mati karena racun yang ditebar olehnya. Aku
memutuskan untuk pulang ke rumah Andri. Padahal sekarang sudah pukul 2 dini
hari. Tapi mau ke mana lagi jika tidak ke sana?
Aku menendang sekuat tenaga kaleng bekas
minuman di depanku. Melampiaskan kemarahanku.
PLETAKKK!
“Awwhh!” pekik seorang gadis mungil
kesakitan.
Aku yang sedari tadi fokus ke handphone
mendongakkan kepala. Astaga! Ternyata tendanganku mengenai seseorang. Apa aku
tidak salah lihat? Jam segini masih ada gadis berkeliaran. Apa jangan-jangan …
kudengar kata orang, di jalan yang kulewati saat ini pernah ada gadis meninggal
terseret truk tebu, sejak saat itu sering terjadi peristiwa menakutkan, kadang
terdengar suara rintihan, kadang penampakan gadis berlubang di punggungnya.
Hiii, ngeri juga. Kuamati baik-baik gadis di depanku, tapi kakinya menapak
tanah, tidak mungkin hantu, kan?
Eh …, dia semakin mendekat sambil
memegang dahinya dan langkahnya sempoyongan namun tegas penuh emosi. Dengan
lantang dia berteriak, “Hei! Brengsek kamu, ya?”
Aku menoleh ke belakang, memastikan
kalau bukan aku yang akan dilabrak.
“He! Kamu, jangan kabur!” ulangnya lagi.
“Aku?”
“Ya, iya lah kamu! siapa lagi?” geramnya
karena aku seperti orang bego masih tidak merasa salah. Malah mencari-cari
orang lain. He3x…
Gadis itu kisaran berusia 19 tahun,
berambut panjang bergelombang. Pakaiannya …, astaga, kekurangan bahan! Kini
berada tepat di depanku. Manis, satu kata untuknya. Manik matanya memerah,
tercium bau alkohol menyengat dari mulutnya.
Ha? Fix dia mabuk. Ya ampun neng, bapak
ibu pada kemana? Anak gadis keliaran jam segini dibiarkan.
Dia mau melayangkan pukulan ke wajahku,
namun aku menghindar dan menangkis tangannya. Nggak sulitlah menangkap orang
mabuk.
Semakin dekat dilihat, gadis itu semakin
cantik. Tidak, tidak! Aku masih suami orang. Tidak boleh memuja gadis lain
selain istriku. Tapi suami mana yang tidak sakit hati ketika istrinya mencintai
pria lain?
Gadis yang tidak kuketahui identitasnya
itu pingsan di pelukanku. Aku bingung mau bawa kemana gadis itu.
“Hei, bangun,” aku menepuk-nepuk
pipinya.
Tidak ada respon sama sekali. Lalu, aku
memutuskan untuk membawanya ke hotel terdekat. Beruntung masih ada taksi yang
lewat dan mau menerima penumpang.
Beberapa menit kemudian, aku turun dari
taksi. Aku memboking kamar sebelum akhirnya menggendong gadis itu ke kamar yang
sudah kupesan.
Aku membuka kamar dan meletakkannya di
kasur. Kulepas sepatu hak tingginya dan menyelimutinya. Ketika beranjak akan
meninggalkannya, tangannya menahanku.
Tiba-tiba dia menarikku sekuat tenaganya
hingga aku terjatuh menindihnya. Hei, apa-apaan kamu gadis bodoh?
“Jangan pergi, temani aku,” lirihnya
masih memejamkan matanya.
Dia memelukku erat. Astaga, dia
benar-benar sedang menguji imanku. Semakin aku memberontak semakin dia
menarikku.
“Lepas!” aku mendorong kedua bahunya
agar terlepas dari jeratannya. Tapi dia terbangun mengikuti gerakanku.
“Hoekk!”
Dia muntah mengeluarkan semua isi
perutnya, kaos dan celanaku basah terkena muntahannya. Tercium alkohol yang
sangat menyengat. “Menjijikkan,” gumamku.
Setelah dia melemas, kesempatanku lepas
darinya. Aku mengelap mulutnya dengan tissu yang sudah disediakan oleh pihak
hotel. Pakaiannya berantakan. Gaun yang dipakai tidak layak disebut pakaian.
Tipis, tidak berlengan, belahan dada yang rendah dan tingginya di atas lutut.
Sebagai laki-laki normal aku merasakan
hasrat yang menggebu. Namun itu tidak mungkin. Aku segera ke kamar mandi
menetralkan deru nafasku yang memburu. Mandi air dingin sangat membantuku.
Setelah mandi kaos tidak kukenakan lagi
dan aku mencucinya dengan sabun mandi lalu menjemurnya di balkon. Berharap
besok bisa mengering terkena angin. Aku hanya mengenakan CD dan bertelanjang
dada.
Padahal aku berencana langsung pergi
setelah meletakkan gadis itu. Eh, malah ada tragedi muntah tepat di bajuku
pula. Terpaksa aku harus menginap juga di sini.
Hari sudah berganti pagi. Cahaya
matahari menelusup menembus jendela kamar. Aku baru saja memejamkan mataku
beberapa menit yang lalu.
“Haa? Auwww!!!”
Jeritan melengking tepat di telinga,
membuatku terbangun. Mata ini terasa pedih dan berat kubuka. Tapi aku juga
takut terjadi sesuatu.
“Apaan sih pagi-pagi berisik! Sakit
telingaku!” geramku setelah mengetahui sumber suara.
“He! kamu apain aku? Haaa…..kamu, jahat!
Tega ngambil keperawanan aku!” teriaknya menangis meraung-raung.
Gila! Aku dituduh memperkosanya. Otakku
masih ada woi. Mana mungkin aku perkosa orang nggak sadar. Aku memaksa membuka
mata.
“Siapa ambil keperawanan kamu! Siapa
perkosa kamu!” ucapku pelan mendorong kepalanya dengan jari telunjuk.
“Siapa lagi, kan cuma kamu yang ada di
sini. Dan lihat kamu telanjang gitu!” wajahnya memerah. Lalu menyelimuti
seluruh tubuhnya. Aku terkekeh sambil menarik-narik selimutnya.
“Oh … jadi kamu, mau aku perkosa?”
bisikku tepat di telinganya membuatnya bergidik.
“Huuaaa…,” raungannya mengeras tapi
tidak jelas karena dia menutupi kepalanya dengan bantal di bawah selimut.
“Dasar om-om mesum! Tega! Aku nggak mau
tau, kamu harus tanggung jawab!” bentaknya masih bersembunyi. Meski nggak jelas
aku mendengarnya.
Aku tertawa geli mendengarnya.
(Bersambung, Rek... Salam Literasi!)