Wikipedia

Hasil penelusuran

Headline Today's

Pengikut

Total Tayangan Halaman

Garis Besar Pembelajaran Mendalam

Posted by On 07.57 with No comments


Definisi 

Pembelajaran Mendalam merupakan pendekatan yang memuliakan dengan menekankan pada penciptaan suasana belajar dan proses pembelajaran berkesadaran, bermakna, dan menggembirakan melalui olah pikir, olah hati, olah rasa, dan olah raga secara holistik dan terpadu

1.Berkesadaran

Pengalaman belajar peserta didik yang diperoleh ketika mereka memiliki kesadaran untuk menjadi pembelajar yang aktif dan mampu meregulasi diri. Peserta didik memahami tujuan pembelajaran, termotivasi secara intrinsik untuk belajar, serta aktif mengembangkan strategi belajar untuk mencapai tujuan.

2. Bermakna

Peserta didik dapat merasakan manfaat dan relevansi dari hal-hal yang dipelajari untuk kehidupan. Peserta didik mampu mengkonstruksi pengetahuan baru berdasarkan pengetahuan lama dan menerapkan pengetahuannya dalam  kehidupan nyata.

3. Menggembirakan

Pembelajaran yang menggembirakan merupakan suasana belajar yang positif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi. Peserta didik merasa dihargai atas keterlibatan dan kontribusinya pada proses pembelajaran. Peserta didik terhubung secara emosional, sehingga lebih mudah memahami, mengingat, dan menerapkan pengetahuan. 

Materi lselengkapnya unduh pada tautan berikut:

1. Paparan  Pembelajaran Mendalam

UNDUH DI SINI

2. Naskah Akademik Pembelajaran Mendalam

UNDUH DI SINI


Kegiatan Ramadhan SDN Ciptomulyo 2 Wujudkan Visi Sekolah Melalui Ibadah dan Prestasi

Posted by On 12.24 with No comments

 

MALANG-Dalam rangka menyambut bulan Ramadhan, SDN Ciptomulyo 2 yang terletak di Jalan Kolonel Sugiono Gang 8 No. 54, Sukun, Kota Malang, menyelenggarakan serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan siswa serta mempererat ikatan mereka dengan agama Islam. Kegiatan yang dilaksanakan meliputi kultum, khotmil Qur’an, dan tadarus Al-Qur’an.

"Melalui kegiatan-kegiatan ini, kami ingin mewujudkan visi sekolah, yakni mencetak insan yang beriman, bertaqwa, berkarakter baik, serta memiliki prestasi dan wawasan yang luas mengenai IPTEK, lingkungan, dan budaya Indonesia," ujar Bu Nursyamsiyah, S.Pd., Kepala Sekolah SDN Ciptomulyo 2.

Kultum dilaksanakan setiap pagi menjelang pembelajaran, dengan durasi 15 menit yang disampaikan oleh guru Pendidikan Agama Islam. Sementara itu, khotmil Qur’an dilakukan serentak oleh guru dan siswa di mushola, yang dilaksanakan dalam satu hari. Selain itu, tadarus Al-Qur’an juga menjadi kegiatan rutin setiap hari Jumat, di mana siswa dan guru bersama-sama mengkhatamkan satu juz sebelum memulai pembelajaran.

Kegiatan Pondok Ramadhan ini mengacu pada Surat Edaran bersama tiga menteri (revisi) pada 23 Februari 2025 yang bertujuan untuk "meningkatkan keimanan dan ketaqwaan guru dan siswa, serta menanamkan pemahaman untuk memperbanyak ibadah di bulan Ramadhan," jelas Bu Nursyamsiyah, yang telah menjabat sebagai Kepala Sekolah selama tiga tahun.


Secara keseluruhan, SDN Ciptomulyo 2 berdiri di atas lahan seluas 3000 m2 dan memiliki 211 siswa, 11 guru, dan 5 tenaga kependidikan. Dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan  pentingnya "memperbaiki kualitas guru dalam menyampaikan pembelajaran, mendisiplinkan anak-anak agar mengikuti pembelajaran, serta menjalin kerja sama yang baik dengan orang tua wali murid" Jelas Ibu 2 anak tersebut.

Tak hanya unggul dalam bidang akademik, SDN Ciptomulyo 2 juga meraih berbagai prestasi di bidang olahraga dan seni. Tim futsal sekolah ini berhasil menjuarai kompetisi hingga tingkat provinsi. Selain itu, SDN Ciptomulyo 2 juga meraih juara 1 dalam lomba tari di tingkat gugus, dan juara 2 dalam lomba pantomim di tingkat kecamatan. Prestasi terbaru yang diraih adalah Juara 1 dalam kompetisi tingkat PJ Walikota pada tahun 2024.

Dengan semangat kebersamaan dan prestasi yang terus berkembang, SDN Ciptomulyo 2 terus berkomitmen untuk mencetak generasi yang unggul baik dalam bidang akademik, agama, maupun kepribadian. (Jupri,Dwi,Ranni, Karisma)

 

SEPENGGAL KISAH DI MASA SPG

Posted by On 06.23 with No comments


 

Cerpen:

Oleh: Joeprie


    Kalau saja ia tidak berada di situ saat ini, barangkali seharusnya ia sedang di antara kedua orang tuanya yang bangga akan kelucuan dan kemanisannya. Dan dia menyanyi, menari, tertawa dan bermanja. Ia ceria, seceria teman-teman sebayanya.

Tetapi… ia ada di situ sekarang. Duduk memeluk lutut di bawah pilar jembatan dekat pelabuhan, dan sedang menangis dengan suara yang menyayat hati.

Dia sebenarnya seorang gadis kecil yang manis, meskipun ia kini tampak kumal dan kotor. Sebagai manusia, dia sudah mulai sempurna, karena dia telah hadir dan mengenal hidup, meski belum dimengertinya. Namun sebagai seorang kanak-kanak, ia telah kehilangan kesempurnaan, sebab ia tidak mengenal arti kanak-kanaknya yang sebenarnya. Kehidupan telah merenggutnya dari dunianya itu.

Dia masih terus menangis ketika aku datang kepadanya. Mata dan pipinya basah oleh air mata.

“Kenapa, Dik?” tanyaku, membungkuk di hadapannya.

Dia mengangkat muka dan memandang padaku dengan mata banjir. Tatapannya itu membuat dadaku terasa perih. Dia begitu takut pada hidupnya. Dia begitu menderita dan tak berdaya.

“Adik kenapa? Tersesat?” tanyaku lagi. Kusingkirkan seuntai rambut yang berjuntai di keningnya.

Dia menggeleng lemah. Tangisnya mulai surut.

“Lalu kenapa adik menangis?”

Dia meraba perutnya lalu berkata pelan, di antara isakannya. “Ana lapar, Kak. Ana belum makan dari pagi.”

Aku tersentak. Ada sesuatu yang tergurit pedih. Dia seorang gadis kecil yang manis, menangis sendirian di bawah pilar jembatan karena lapar…Oh Tuhan…betapa kejamnya hidup menyiksanya. Betapa tak adilnya dunia bersikap kepadanya.

“Adik mau makan?” suaraku kudengar parau dan gemetar.

Dia mengangguk kecil, tanpa malu-malu.

Kuajak ia bangkit dan lalu kugandeng meninggalkan tempat itu. Setelah menyusuri jalan raya Pasuruan ke arah barat, kami masuk warung nasi rawon Pak Brahim daerah Kedong Wolu. Warung ini terkenal dengan masakan rawonnya yang nikmat. Anak-anak SPG setiap habis ada kegiatan kerja bakti sampai sore di sekolah, selalu makan bersama di warung ini dengan biaya dari guru yang memberi tugas. Di sana kupesankan untuknya, seporsi nasi rawon istimewa. Sebenarnya di seberang jalan sana ada banyak warung nasi murah, tetapi tidak, aku tak sampai hati mengajaknya ke sana. Sudah cukup penderitaan direguknya, sekarang biarlah aku mengajaknya melupakan itu sejenak. Karena hidup pun tak selalu pahit.

Sambil menunggu pesanan selesai dibuatkan, kuajak ia ke kamar mandi. Kusuruh ia membasuh muka, tangan dan kakinya di sana. Untuk melap muka dan tangannya, kuberikan sapu tanganku padanya. Ketika sedang melap mukanya, kuperhatiakan ia, dan berulah kusadari, ia sebenanrnya tak patut dengan keadaannya itu, dengan pakaian kumalnya itu, dengan kaki telanjangnya itu. Ia seharusnya seorang gadis kecil yang manis di tengah-tengah keluarganya yang sangat menyayanginya, bukan seorang gadis kecil yang kotor dan kumal di bawah jembatan penyeberangan dekat pelabuhan.

Ketika kami kembali ke meja, di sana telah terhidang sepiring nasi rawon istimewa yang masih berasap dan dua gelas es teh manis.

“Minum dulu, Dik,” kataku padanya, seraya aku sendiri mengangkat gelasku.

Dia meminum es teh manisnya, setengah gelas sekali minum.

“Makanlah pelan-pelan, masih panas,” kataku lagi, setelah ia meletakkan gelasnya.

Dia mulai makan, pelan-pelan tapi tampak sekali kelahapannya. Aku memperhatikannya dengan perasaan bahagia bercampur haru. Entah kenapa tiba-tiba ia berhenti makan dan memandang padaku.

“Kakak nggak makan?” tanyanya.

Aku tersenyum dan menggeleng pelan.

“Kakak sudah makan tadi, di sekolahan,” jawabku.

Dia melanjutkan lagi makannya.

“Kakak sekolah di mana, sih?” tanyanya, suatu kali, di tengah makannya.

“Di SPG Negeri. Kenapa?”

“SPG itu apa, Kak?”

“Sekolah Pendidikan Guru.”

“Oh, kakak guru, ya?”

“Bukan. Tapi, calon guru. Kakak ingin jadi guru. Makanya sekolah di sekolah pendidikan guru. Memangnya kenapa?”

“Nggak apa-apa,” dia menggeleng-geleng, tapi aku melihat kesedihannya.

“Kamu sudah sekolah?”

Dia menggeleng-geleng lagi, murung.

“Sudahlah selesaikan dulu makanmu. Kalau sudah selesai baru kita ngobrol.”

Dia segera menyelesaikan makannya. Tandas sepiring nasi rawon istimewa itu dibuatnya.

“Mau tambah lagi?” tanyaku.

Dia menggeleng, sambil mengangkat gelas es teh manisnya dan lalu direguknya isinya, hingga tuntas. Diam-diam hatiku terenyuh dibuatnya.

“Kakak kelas berapa?” tanyanya, setelah menyeka mulut dengan punggung lengannya.

“Kelas tiga.”

“Kok sudah besar baru kelas tiga sih?”

Aku tersenyum mendengar pertanyaan lugunya itu.

“Kelas tiganya kelas tiga besar, bukan kelas tiga kecil. Atau bisa dikatakan sebagai kelas dua belas.”

“Kelas dua belas?” dia tertawa lucu. “Emang ada, Kak?”

Aku juga tertawa jadinya. Keluguannya itulah penyebabnya.

“Memang nggak ada. Itu kan cuma istilah kakak saja, supaya kamu mengerti, bahwa kelas tiga besar sama artinya dengan kelas dua belas. Paham?”

Dia mengangguk. Dia sebenarnya anak yang cerdas.

“Oh,ya. Kakak belum tahu siapa namamu?”

“Nama saya Ana. Nama Kakak?”

“Jupri. Panggil saja Kak Pri.”

Dia mengangguk dengan senyum lebar.

“Nama Kakak jelek, tapi Kakak orangnya baik.” ujarnya.

Aku tertawa saja. “Apalah arti sebuah nama? Melati meskipun diganti nama comberan, ia tetaplah melati yang senantiasa menebarkan aroma wangi, he…he…he…” jawabku berfilsafat.

Ana tersenyum manis. Kupencet hidungnya yang bangir mungil, gemas. Dia tertawa gembira.

Siapa yang akan menyangka bahwa dia adalah seorang gadis kecil yang malang? Dan siapa pula yang akan menduga bahwa dia adalah perlambang hitamnya masa kanak-kanak?

“Ana. Selama ini sebenarnya kamu tinggal di mana?” tanyaku, memandangnya.

Ana menggeleng pelan. Dalam matanya aku melihat kemurungan yang bangkit.

“Sejak masih bersama Bapak dan Ibu, kami tak pernah punya tempat tinggal tetap. Kami selalu berpindah-pindah, dari kolong jembatan yang satu ke kolong jembatan yang lain,” katanya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

“Oh!” aku tersentak, tercekat. Ada sesuatu yang tergurit robek di dadaku.

“Lalu di mana bapak dan ibumu sekarang tinggal?” tanyaku dengan perasaan getir.

Ana mulai terisak-isak. Air mata merayap turun di pipinya, bening. Aku memeluknya. Dia menangis dalam dekapanku. Hatiku remuk redam.

“Ana nggak punya Bapak Ibu lagi, Kak.” Dia tersedu-sedu. “Bapak Ibu Ana sudah meninggal…”

Aku menggigit bibir. Perasaanku bagai dirobek-robek rasanya. Dia ternyata lebih menderita dari yang kuperkirakan… Dua bulir hangat kurasakan merayapi pipi-pipiku, luluh pelahan…

Hidup memang kadang jauh lebih buruk dari yang terbayangkan, tetapi mengapa gadis sekecil ini mesti menjalaninya? Padahal jelas dia belum banyak mengerti mengapa ia mesti menderita, dan untuk apa? Dia memang belum banyak mengerti, tetapi ia tahu, ia harus mereguk penderitaan yang disodorkan kepadanya. Dia tak berdaya, sama sekali tak berdaya! Hidup memang selalu memaksa manusia agar tak berdaya, namun kenapa mesti pada gadis sekecil ini pula? Ah,…inikah kodratMu, Tuhan?

Ana terus menangis dalam pelukanku. Sedu sedannya terdengar sangat menyayat dan menggiris-giris. Aku mengerti, ia mulai menyadari penderitaannya. Ia mulai dapat melihat hari-hari esoknya yang gelap gulita, tanpa pegangan, tanpa secercah nyala dian pun. Dan dia takut terjerumus pada jurang yang tak pernah dilihatnya. Dia sangat takut… Dia butuh perlindungan, dia butuh tangan tempat berpegangan. Dia butuh sedikit cahaya untuk menyuluhi jalannya yang berliku dan terjal. Dia butuh seseorang untuk hidup-hidupnya mendatang…tetapi siapa?

“Ana…” himbauku, mengelus kepalanya. Dia mengangkat kepala dan menatap padaku dengan mata banjir serta sendat-sendat isakan.

“Ana mau ikut dengan Kakak?” tanyaku, lembut. Kuseka air mata yang membasahi pipinya dengan sapu tangan.

Dia tak menjawab. Matanya tetap pada diriku, bening dan jujur.

“Kita akan tinggal bertiga: Ana, Kakak dan Ibu Kos. Mau, Ana?”

Ana menggigit bibir dan merunduk, dadanya terguncang-guncang oleh sisa isakan yang meletup dari kesedihannya, perlahan sekali ia menggeleng.

“Ana nggak mau? Nggak mau tinggal dengan Kakak?” tanyaku, kaget.

Dia menggeleng lagi, lebih tegas.

“Kenapa?”

Dia menatapku dan kembali menggeleng.

“Ana nggak tahu, di mana Ana dilahirkan Ibu, dan Ana juga nggak tahu di mana seharusnya Ana hidup dan mati…”, katanya, lirih.

Aku tersentak dan terhenyak pada sandaran. Ini bukan kata-kata dari seorang gadis kecil seperti dia! Ini kata-kata Malaikat yang sedang datang padanya… dan berarti dia sedang menuju… Oh, tidak! Aku memejam rapat. Bayangan buruk itu seperti lintasan prahara yang tak tertahan, hitam dan menakutkan!

“Ana mau ikut Bapak dan Ibu. Ana nggak mau ditinggal, Ana takut sendirian…” Dia menangis lagi, mendekapku erat-erat, seperti meminta perlindungan.

Aku sendiri, diam-diam, kemudian ikut menangis. Menangisi kemalangan yang tak mampu dielakkan.

Dan mungkin inilah yang dinamakan kodrat. Suratan yang berlaku atas manusia, tak terelakkan, tak mampu dielakkan! Itulah yang berlaku. Aku tak kuasa memaksakan maksudku atas gadis kecil itu untuk ikut bersamaku, di tempat kosku. Dia berpijak pada kodratnya, utuh seutuhnya, dan aku tak mampu menggoyahkannya. Dia berkisar atas jalur kebenarannya, atas jalan semestinya.

Dia kuantarkan kembali ke tempatnya semula, di bawah pilar jembatan penyeberangan dekat pelabuhan, di sanalah kemudian ia duduk… beralaskan karton lusuh.

“Ana, di mana kamu tidur nanti malam?” aku berlutut di sampingnya.

Dia menatapku dan lalu menggeleng.

“Di mana pun Ana tidur nanti malam, sama saja artinya, Kak,” katanya.

Aku menghela nafas.

“Tapi tidur di tempat terbuka nggak baik buat kesehatan, Ana,” nasihatku.

Dia cuma tersenyum.

“Sejak lahir, Ana justru belum pernah tidur di tempat tertutup, Kak,” katanya. “Ana kuatir, Ana malah akan sakit kalau tidur di tempat tertutup,” lanjutnya, sambil tertawa lucu.

Aku mencoba turut tertawa, tetapi terlalu perih rasanya. Akhirnya aku cuma mampu tersenyum getir. Dia sebenarnya telah banyak mengenal hakekat hidupnya.

Ketika aku hendak pulang, uang kembalian dari warung nasi rawon Pak Brahim yang tiga ribu delapan ratus rupiah kuberikan padanya. Uang itu, lima ribu rupiah asalnya, adalah sisa uang hadiah lomba cerpen yang diselenggarakan STKIP Pasuruan tiga hari lalu. Semua uang itu berjumlah dua puluh lima ribu, tetapi yang dua puluh ribu kemudian terpakai untuk membayar kos empat bulan ke depan. Dan sisanya yang lima ribu itu tadinya kumaksudkan untuk membayar uang sekolah, namun ternyata rizki Ana lebih baik daripada niatku, maka ya… begitulah. Rizki toh tak bisa diduga-duga, kapan datang pada kita, dan kapan datang kepada orang lain?

“Terima kasih, Kak,” ucap Ana ketika menerima uang itu, tulus. “Kakak baik sekali pada Ana.”

Aku cuma tersenyum dan mengelus kepalanya.

“Tuhan Maha Adil dan Bijaksana, Ana. Dia Maha Tahu, kepada siapa Dia akan memberi dan lewat siapa Dia memberi. Tuhan member rizki kepada Kakak, dan lewat Kakak Dia memberimu rizki,” kataku, lembut. “Pergunakanlah uang itu baik-baik, dan pesan Kakak: "Ana jangan menangis lagi.”

Dia mengangguk.

“Besok akan Kakak belikan pakaian buat Ana, yang bagus, yang cocok buat Ana.“ Dia tersenyum senang. “Dan Insya Allah, kalau Kakak punya uang, kita makan nasi rawon istimewa lagi di warung Pak Brahim. Ana suka makan di sana?”

“Suka, Kak. Nasi rawonnya enak sekali,” katanya gembira.

Aku tersenyum. Ada kebahagiaan yang menjalar di sekujur tubuh.

“Nah, sekarang Kakak harus segera pulang. Banyak PR yang harus Kakak kerjakan, jadi Kakak nggak bisa menemani Ana lama-lama. Baik-baik ya? Dan jangan menangis lagi, ingat.”

Dia mengangguk dan tersenyum ceria.

“Terima kasih, Kak. Ana janji, Ana nggak akan menangis lagi,” katanya.

Aku mengelus kepalanya dengan perasaan sayang dan iba. Entah kenapa, tiba-tiba ada sesuatu yang menggayuti diriku. Berat, berat sekali! Aku tak tahu, perasaan apa itu sebenarnya?

Aku bangkit berdiri, menatapnya sekali lagi, kemudian kupaksakan kakiku untuk melangkah. Aku berjalan kaki menuju jalan Diponegoro tempatku indekos. Aku melambai padanya. Ia membalas dengan senyum.

Ketika aku melangkah, kurasakan perasaan berat yang menggayut itu kian menjadi. Entah mengapa, sekonyong-konyong ada perasaan tak rela pada perpisahan ini dalam diriku. Dan tentu saja aku jadi gelisah karenanya.

Setiba di tempat kos, setelah menaruh tas sekolah di kamarku, aku segera pergi ke kamar Ibu Kos. Ibu Kos yang sudah kuanggap sebagai ibu sendiri itu sedang berbaring setengah duduk di sana, di atas tempat tidurnya. Sudah tiga hari ini ia sakit.

“Baru pulang, Pri?” ujar ibu kos menyambutku.

“Iya, Bu,” aku duduk di tepi pembaringannya. “Ibu sudah makan? Minum obat?”

Ibu Kos menjawabi dengan anggukan-anggukan.

“Kalau begitu sekarang ibu harus tidur,” kataku, sambil bergerak membantunya berbaring sepenuhnya.

“Ya, ya. Tapi tunggu dulu.”

“Ada apa, Bu?”

“Ada sesuatu yang membuatmu berubah.”

“O, ya? Darimana Ibu tahu?”

Ibu Kos tersenyum saja.

“Aku ibu kos mu, Pri. Hampir tiga tahun kita bersama, dan aku tahu betul akan dirimu. Ayo katakan, apa sebenarnya sesuatu itu?”

“Ibu mau tahu?”

Ibu Kos mengangguk antusias.

Maka kuceritakanlah segalanya. Segalanya tentang gadis kecil itu, tentang penderitaannya dan tentang semua kemalangannya. Tentang seorang gadis kecil yang sempurna oleh derita hidup. Dan Ibu Kos menangisinya. Dan aku pun menangisinya! Dia masih terlalu kecil untuk menentang hidup seorang diri, dia masih terlalu kecil untuk memikul beban yang maha berat itu, dia masih terlalu kecil…

“Jupri… kamu harus menolongnya. Kamu harus membawanya ke sini. Dia butuh perlindungan, dia butuh naungan, dia butuh uluran tangan kita…. Kamu harus menyelamatkannya dari penderitaannya, kamu harus… itu kewajibanmu, Jupri…,” ujar Ibu Kos, tersendat-sendat oleh tangisnya.

“Iya, Bu. Aku akan menolongnya. Aku akan membawanya ke sini…”

“Kamu janji?”

“Aku janji, Bu.”

Ibu Kos meraih tanganku, mendekapnya, dan kami bertangis-tangisan.

Keesokan harinya, pulang sekolah, dengan bungkusan plastik kresek berisi baju, aku menuju ke jembatan penyeberangan dekat pelabuhan itu. Tetapi ketika aku tiba di bawah jembatan itu aku tertegun. Ana tak ada di situ, tidak juga karton lusuh alas duduknya. Aku menggigit bibir dan bergegas mencarinya, di warung Pak Brahim, tempat dia kemarin makan, tak ada. Di warung-warung nasi sepanjang jalan raya Pasuruan juga tak ada. Kususuri juga kampung Bangilan, sepanjang jalan Niaga, alun-alun, Panglima Sudirman, jalan Melati, jalan Jawa, di sudut-sudut perempatan tak ada juga. Udara Kota Pasuruan yang terik membuat tubuhku bermandi peluh. Aku kembali ke bawah jembatan semula, berdiri terpaku di tempat Ana kemarin duduk. Aku merasa sedang bermimpi buruk.

“Ana, di mana kamu? Ke mana kamu…?”

Hatiku remuk redam oleh kegelisahan dan ketakutan.

Oooohhh… inikah perasaan yang menggayut kemarin? Inikah…?

“Ana…” aku bersimpuh dan menangis. Pedih sekali perasaanku. Kau tak kutemukan…

………………………………………

(***)

(Kawan,..pada suatu hari,… jika kamu bertemu dengan gadis kecil berbaju lusuh menatap iba penuh harap kepadamu,…kasihi dan bantulah dia. Hilangkan laparnya dengan rizki yang kamu punya…)

Pasuruan, 28 April 1990.

AKU DIHINA KARENA HANYA SEORANG GURU SD

Posted by On 06.21 with No comments

 



Oleh: Jupri

1/12/2023

#Bagian 1

Hijrah ke Kota Malang

Selepas menamatkan pendidikan SPG Negeri di Kota Pasuruan yang panas, aku hijrah ke Kota Malang. Benar kata orang, Malang Kota Dingin, Kota Bunga, Kota Pariwisata dan aneka sebutan lain yang membuat orang betah. Kuputuskan untuk mencari kos, dan menjadi warga kota ini. Aku merasa kerasan dengan suasana kota yang teduh, sejuk dan nyaman. Sesuai dengan latar belakang pendidikan, aku memutuskan untuk bekerja sebagai guru sekolah dasar.

Tanpa terasa sudah lima tahun bekerja sebagai guru. Aku punya teman baik banget seperti saudara. Dia juga guru. Kemarin ketika jam istirahat ia datang ke kelasku dan berkata to the point, “Sudah waktunya kamu nikah, Sob. Aku punya keponakan yang cuantiiik, banget. Sekali ketemu pasti kamu klepek-klepek,” tawarnya sambil tertawa. Tanpa babibu ia segera mengajakku ke rumahnya. Gila! benar saja, sesampai di rumah yang kami tuju seorang gadis anggun, cantik nan rupawan, berdiri depan pintu mempersilakan kami masuk.

“Kenalkan Yu, ini Jafri, temanku satu sekolahan,” kata Andri langsung nyelonong masuk ke dalam rumah sebelum dipersilahkan. Aku mengulurkan tangan dan dia pun menyambutnya sambil menyebut nama. “Ayu,” katanya. DEG! Jantungku berdetak kencang seperti ada gempa. Kugenggam erat tangannya, dia membiarkan dengan seulas senyum. Senyumnya itu, uh! Maniiis banget seperti ice cream. Dan aku suka sekali ice cream, maka aku tak hendak berkedip sedetik pun untuk menikmati senyuman Ayu, he3x...

Benar kata teman-teman, gadis Kota Malang itu cantik-cantik. Tidak salah! Kini dia berdiri di depanku. Tinggi semampai, tampak anggun dengan rambut hitam panjang terurai, kulit putih halus dan mata berbinar, sejuk seperti telaga.

“Ehem,” kudengar suara berdehem dari dalam rumah. Aku kaget dan spontan melepas genggaman dari tangan Ayu yang tertunduk tersipu malu. Aku jadi salah tingkah ketika seorang tinggi besar, yang berdehem itu rupanya ayah Ayu mempersilakan aku duduk.

Ayah Ayu ramah banget. Sejak saat itu, aku sering bermain ke rumahnya. Berita Andri, kedua orang tuanya suka sama aku (karena aku baik, ramah, sopan dan juga ganteng he3x…muji diri sendiri gpp, kan?) dan berharap aku segera melamar dan menikahinya. Hatiku berbunga-bunga, menari-nari seperti film India. Tanpa berpikir panjang aku pun mewujudkan harapan kedua orang tua Ayu.

Dan saat yang kunanti-nanti itu pun tiba. Aku bernafas lega ketika tamu undangan kompak mengucap, “Sah!” menjawab pertanyaan Pak Penghulu usai aku mengucap ijab kabul. Karena itu artinya aku telah resmi menjadi seorang suami. Di tengah kebahagiaan itu, aku melirik Ayu, pasti ia juga bahagia sepertiku. Tetapi, ia menunduk dengan mata mendung. Aku mengernyitkan dahi, apakah dia bersedih? Kenapa? Ah, pasti dia menangis karena bahagia, batinku. Segera kupeluk dia dan kukecup keningnya dengan perasaan penuh cinta dan kasih sayang. Aku sudah tidak sabar untuk menunggu malam pertama.

#Bagian 2

Malam Pertama yang Nggak Indah Blas

Malam kian larut, kumatikan lampu kamar, mungkin saja karena terlalu terang aku kesulitan tidur. Tapi percuma, tetap saja aku merasa gelisah gundah gulana. Aku menggulingkan tubuh ke kanan dan ke kiri. Ayu tidak merasa terganggu. Dia masih nyenyak dalam tidurnya. Kupandangi tubuh molek Ayu yang masih membelakangiku. Gila! Memandangnya saja membuat aku bernafsu. Ingin segera kurengkuh dan kucumbu sepuas hati, tapi ada rasa tak tega menghampiri. Dia terlihat sangat lelah.

Semakin lama, aku semakin tidak tahan. Aku menyentuh bahunya perlahan dan menggoyangkannya. Berharap, dia mendengar jeritan hatiku yang sedang meronta menginginkannya.

“Ayu…,” panggilku pelan.

Ayu masih tidak bergeming. Kemudian aku memeluknya dari belakang, menyibak rambut panjangnya hingga terlihat leher jenjang dia. Kucium, Ayu menggeliat kegelian. Terdengar desahan Ayu lirih, namun kedua matanya masih terpejam. Aku membalikkan tubuhnya menjadi terlentang. Aku menindihnya, tubuhnya ada di bawah kuasaku sekarang. Anehnya dia masih juga terpejam. Tanganku mulai berkelana menyusuri keindahan tubuhnya.

Tiba-tiba Ayu terbangun, dia mendorongku sekuat tenaganya. Matanya menyalang terpancar amarah. Apa aku begitu bersalah? Kenapa dia memandangku seperti itu?

“Ayu, sayang,” ucapku ragu-ragu.

Dia terduduk dan hampir menangis. Lalu kedua tangannya merapat, menutupi dadanya.

“Ayu…maaf, aku mengganggu tidurmu, ya?” tuturku pelan merasa tidak enak.

“Jangan sentuh aku!” pekiknya dengan suara lantang. DEG! Apa maksudnya? Aku suaminya tapi dia bilang untuk tidak menyentuhnya. Aku benar-benar bingung dan tidak mengerti dibuatnya.

Aku mendekat, duduk di sampingnya dan akan merangkulnya. Tapi di luar dugaan, dia mendorongku sekuat tenaga lalu beranjak menangis.

“Tolong...jangan sentuh aku, Mas,” isaknya membuat hatiku teriris.

“Apa salahku, Yu?” tanyaku bingung. Aku frustasi dibuatnya. Tangisnya semakin

menjadi. Oke, aku kalah! Semakin melihatnya tersedu-sedu, jantungku semakin terasa sesak.

“Mau kamu apa, Ayu?” tanyaku dari kejauhan.

“Ceraikan aku, Mas,” ucapnya sambil sesenggukan.

DUARRR!!! Rasanya ada yang meledak di jantungku. Seperti bom Israel di tanah Gaza. Pernikahan kami belum genap 24 jam, tapi istriku sudah minta diceraikan. Astaga, permainan apa ini?

Aku menghela nafas panjang dan menghembuskannya kasar. Mencoba menetralkan gemuruh jantung dan hatiku yang terguncang.

Aku pikir, setelah menikah bisa merasakan kebahagiaan yang selama ini aku damba. Bisa memasak bersama, duduk sambil makan roti kering dan minum teh di teras rumah bersama, saling memadu kasih, menyelesaikan tugas bersama dan mempunyai keturunan yang cantik atau gantengnya seperti aku.Tapi ternyata aku salah! Impian itu hancur karena istriku tidak menginginkan pernikahan ini.

“Ayu, bisa kita bicara sebentar?” tanyaku hati-hati setelah tangisnya terhenti.

Ayu mengangguk, lalu duduk di tepi ranjang. Wajahnya menunduk tidak melirikku sedikit pun. Terbersit dalam hatiku, ‘Apa aku terlihat sangat jelek? Melihat saja dia tidak mau. Perasaan, tampangku jika dibanding Aldi Baran masih ganteng aku (preet!).’

Aku berjongkok di depannya. Kupegang jemari kedua tangannya. Aku kecup dengan penuh cinta. Tapi sepertinya dia tidak nyaman.

“Ayu, kenapa kamu berubah setelah kita menikah? Apa aku telah melakukan kesalahan? Tolong katakan, Ayu, aku harus bagaimana biar kamu bisa nerima aku?” Aku masih berjongkok di depannya, mendongak memandang wajah cantiknya.

“Kamu mau dengar?” aku mengangguk dan memperhatikannya.

“Maaf, Mas…sebenarnya aku menerimamu karena dipaksa oleh orang tuaku. Mereka tidak merestui hubunganku dengan pacarku. Sampai akhirnya Bang Andri ngenalin kamu. Kedua orang tuaku sangat menyukaimu, karena itu mereka memaksaku untuk mau menerima lamaranmu,” Ayu menghela nafas.

Dadaku sesak, rasanya seperti kehabisan oksigen di ruangan itu. Jantungku berdetak sangat keras.

“Ayahku mengancam, jika aku tidak menurutinya, beliau akan pergi dan tidak akan pernah mempedulikan keluarganya lagi. Kamu tahu sendiri, ibu dan adikku masih membutuhkan beliau,” tutur Ayu dengan air mata yang hampir tumpah.

“Maaf, Mas. Aku tidak bisa menolakmu karena keluargaku. Aku tidak mau Ayah pergi hanya karena keegoisanku. Tapi jauh dari lubuk hatiku, aku sangat mencintai pacarku. Kamu bisa memiliki ragaku, tapi tidak hatiku, Mas,” tangisnya mulai pecah. Kedua tangannya menutupi wajahnya, seakan melihatku saja enggan.

Ya, Tuhan, kenapa Engkau hadirkan rasa sesakit ini. Hatiku seperti disayat sembilu. Tubuhku melemas hingga terduduk di lantai. Pegangan tanganku perlahan terlepas.

Aku belum pernah menangis seumur hidupku, tapi kali ini, aku menjadi pria yang paling lemah. Air mataku lolos begitu saja. Terserah Ayu menganggapku seperti apa. Aku merasa berpijak pada bumi yang runtuh. Sakit, hancur sampai menjadi serpihan.


#Bagian 3

Bertemu Gadis Liar

“Tidak bisakah kita mulai dari nol, Ayu? Pepatah bilang tak kenal maka tak sayang. Witing tresno jalaran soko kulino,” ucapku pelan setelah merenung sejenak.

“Ini bukan pepatah, Mas! Ini real life! Aku hanya mencintai pacarku. Lagi pula kamu Cuma seorang guru SD. Apa kamu mampu mencukupi semua kebutuhanku?” sinis Ayu menatapku remeh.

“Pacarku seorang direktur sebuah perusahaan. Kami saling mencintai, hanya tinggal menunggu restu dari orang tuaku saja. Tapi kamu tiba-tiba hadir dan menghancurkan semuanya. Aku yakin, dia lebih mampu membahagiakanku daripada kamu,” tutur Ayu penuh penekanan membuat darahku mendidih.

Hah! Aku salah menilaimu Ayu. Aku pikir dia gadis lugu. Tapi ternyata? Aku yang terlalu bodoh mudah percaya mata polos itu. Tapi tidak seperti ini juga caramu mempermainkan perasaanku! Bahkan aku kamu rendahkan sampai ke dasar-dasar.

Mendengar ucapannya tanganku mengepal kuat. Rahangku mengeras, jantungku berdetak berkali-kali lipat dari normalnya. Emosi ini sudah sampai pada puncaknya. Aku berdiri, lalu membabi buta memukul-mukul tembok. Tidak peduli tanganku remuk penuh darah. Saat ini aku membutuhkan pelampiasan.

Dasar wanita ular! Apa semuanya seperti kamu, Ayu! Aku benar-benar tidak menyangka dengan apa yang kamu lakukan. Sampai mati pun aku akan mengingat bagaimana kamu menginjak harga diriku sampai hancur. Kemudian aku pergi keluar. Pintu kamar kubanting dengan kasar, bahkan hingga dindingnya bergetar. Aku yakin, Ayu pasti menangis ketakutan di sana. Karena sekilas aku melihat matanya memerah. Aku tidak peduli lagi dengannya.

Tengah malam yang pekat itu, aku keluar rumah. Tidak tahu membawa langkah kaki ini kemana. Aku tidak punya tujuan yang jelas.

Aku berjalan berselimut awan gelap. Dinginnya malam ini mampu menembus kaos polo yang kukenakan padahal sudah berlapis jaket. Hanya terdengar deru lalu lalang mobil.

“HUAAAHH…..!”, aku berteriak keras melepas rasa sesak di dada.

Rasa benci sudah memenuhi ruang hatiku. Cinta yang baru tertanam telah mati karena racun yang ditebar olehnya. Aku memutuskan untuk pulang ke rumah Andri. Padahal sekarang sudah pukul 2 dini hari. Tapi mau ke mana lagi jika tidak ke sana?

Aku menendang sekuat tenaga kaleng bekas minuman di depanku. Melampiaskan kemarahanku.

PLETAKKK!

“Awwhh!” pekik seorang gadis mungil kesakitan.

Aku yang sedari tadi fokus ke handphone mendongakkan kepala. Astaga! Ternyata tendanganku mengenai seseorang. Apa aku tidak salah lihat? Jam segini masih ada gadis berkeliaran. Apa jangan-jangan … kudengar kata orang, di jalan yang kulewati saat ini pernah ada gadis meninggal terseret truk tebu, sejak saat itu sering terjadi peristiwa menakutkan, kadang terdengar suara rintihan, kadang penampakan gadis berlubang di punggungnya. Hiii, ngeri juga. Kuamati baik-baik gadis di depanku, tapi kakinya menapak tanah, tidak mungkin hantu, kan?

Eh …, dia semakin mendekat sambil memegang dahinya dan langkahnya sempoyongan namun tegas penuh emosi. Dengan lantang dia berteriak, “Hei! Brengsek kamu, ya?”

Aku menoleh ke belakang, memastikan kalau bukan aku yang akan dilabrak.

“He! Kamu, jangan kabur!” ulangnya lagi.

“Aku?”

“Ya, iya lah kamu! siapa lagi?” geramnya karena aku seperti orang bego masih tidak merasa salah. Malah mencari-cari orang lain. He3x…

Gadis itu kisaran berusia 19 tahun, berambut panjang bergelombang. Pakaiannya …, astaga, kekurangan bahan! Kini berada tepat di depanku. Manis, satu kata untuknya. Manik matanya memerah, tercium bau alkohol menyengat dari mulutnya.

Ha? Fix dia mabuk. Ya ampun neng, bapak ibu pada kemana? Anak gadis keliaran jam segini dibiarkan.

Dia mau melayangkan pukulan ke wajahku, namun aku menghindar dan menangkis tangannya. Nggak sulitlah menangkap orang mabuk.

Semakin dekat dilihat, gadis itu semakin cantik. Tidak, tidak! Aku masih suami orang. Tidak boleh memuja gadis lain selain istriku. Tapi suami mana yang tidak sakit hati ketika istrinya mencintai pria lain?

Gadis yang tidak kuketahui identitasnya itu pingsan di pelukanku. Aku bingung mau bawa kemana gadis itu.

“Hei, bangun,” aku menepuk-nepuk pipinya.

Tidak ada respon sama sekali. Lalu, aku memutuskan untuk membawanya ke hotel terdekat. Beruntung masih ada taksi yang lewat dan mau menerima penumpang.

Beberapa menit kemudian, aku turun dari taksi. Aku memboking kamar sebelum akhirnya menggendong gadis itu ke kamar yang sudah kupesan.

Aku membuka kamar dan meletakkannya di kasur. Kulepas sepatu hak tingginya dan menyelimutinya. Ketika beranjak akan meninggalkannya, tangannya menahanku.

Tiba-tiba dia menarikku sekuat tenaganya hingga aku terjatuh menindihnya. Hei, apa-apaan kamu gadis bodoh?

“Jangan pergi, temani aku,” lirihnya masih memejamkan matanya.

Dia memelukku erat. Astaga, dia benar-benar sedang menguji imanku. Semakin aku memberontak semakin dia menarikku.

“Lepas!” aku mendorong kedua bahunya agar terlepas dari jeratannya. Tapi dia terbangun mengikuti gerakanku.

“Hoekk!”

Dia muntah mengeluarkan semua isi perutnya, kaos dan celanaku basah terkena muntahannya. Tercium alkohol yang sangat menyengat. “Menjijikkan,” gumamku.

Setelah dia melemas, kesempatanku lepas darinya. Aku mengelap mulutnya dengan tissu yang sudah disediakan oleh pihak hotel. Pakaiannya berantakan. Gaun yang dipakai tidak layak disebut pakaian. Tipis, tidak berlengan, belahan dada yang rendah dan tingginya di atas lutut.

Sebagai laki-laki normal aku merasakan hasrat yang menggebu. Namun itu tidak mungkin. Aku segera ke kamar mandi menetralkan deru nafasku yang memburu. Mandi air dingin sangat membantuku.

Setelah mandi kaos tidak kukenakan lagi dan aku mencucinya dengan sabun mandi lalu menjemurnya di balkon. Berharap besok bisa mengering terkena angin. Aku hanya mengenakan CD dan bertelanjang dada.

Padahal aku berencana langsung pergi setelah meletakkan gadis itu. Eh, malah ada tragedi muntah tepat di bajuku pula. Terpaksa aku harus menginap juga di sini.

Hari sudah berganti pagi. Cahaya matahari menelusup menembus jendela kamar. Aku baru saja memejamkan mataku beberapa menit yang lalu.

“Haa? Auwww!!!”

Jeritan melengking tepat di telinga, membuatku terbangun. Mata ini terasa pedih dan berat kubuka. Tapi aku juga takut terjadi sesuatu.

“Apaan sih pagi-pagi berisik! Sakit telingaku!” geramku setelah mengetahui sumber suara.

“He! kamu apain aku? Haaa…..kamu, jahat! Tega ngambil keperawanan aku!” teriaknya menangis meraung-raung.

Gila! Aku dituduh memperkosanya. Otakku masih ada woi. Mana mungkin aku perkosa orang nggak sadar. Aku memaksa membuka mata.

“Siapa ambil keperawanan kamu! Siapa perkosa kamu!” ucapku pelan mendorong kepalanya dengan jari telunjuk.

“Siapa lagi, kan cuma kamu yang ada di sini. Dan lihat kamu telanjang gitu!” wajahnya memerah. Lalu menyelimuti seluruh tubuhnya. Aku terkekeh sambil menarik-narik selimutnya.

“Oh … jadi kamu, mau aku perkosa?” bisikku tepat di telinganya membuatnya bergidik.

“Huuaaa…,” raungannya mengeras tapi tidak jelas karena dia menutupi kepalanya dengan bantal di bawah selimut.

“Dasar om-om mesum! Tega! Aku nggak mau tau, kamu harus tanggung jawab!” bentaknya masih bersembunyi. Meski nggak jelas aku mendengarnya.

Aku tertawa geli mendengarnya.

(Bersambung, Rek... Salam Literasi!)